Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam upaya eliminasi kanker serviks, meskipun pemerintah telah menargetkan langkah ambisius melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kanker Leher Rahim 2023–2030. Dari total 69 juta perempuan yang perlu menjalani skrining selama periode tersebut, cakupan saat ini baru mencapai sekitar 27 persen—angka yang masih jauh dari target 75 persen pada tahun 2030. Rendahnya partisipasi masyarakat serta kapasitas layanan yang belum merata menjadi hambatan utama.
Isu tersebut menjadi fokus dalam Roundtable & Media Discussion bertajuk “From Pilot to National Scale: Strengthening Cervical Cancer Screening in Indonesia” yang digelar pada Kamis (4/12/2025) oleh Indonesian Health Economics Association (InaHEA).
Acara ini menghadirkan dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI; Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH; serta Mutia Sayekti, peneliti InaHEA. Dr. Hasbullah selaku Ketua Umum InaHEA memaparkan hasil white paper kolaborasi InaHEA bersama APAC Women’s Cancer Coalition.
Baca Juga: Hari Perempuan Sedunia: Kalbe Ajak Wanita Cegah Kanker Serviks Lebih Awal
Baca Juga: Bahaya Kanker Serviks: Ini 6 Tanda Tak Biasa yang Harus Diwaspadai
Berdasarkan Globocan 2024, kanker serviks menjadi penyebab kematian tertinggi kedua pada perempuan di Indonesia, dengan 36.964 kasus baru dan 20.708 kematian pada 2022. Kondisi ini diperparah karena sekitar 70 persen kasus ditemukan pada stadium lanjut.
“Kalau kita lihat data rumah sakit, kasus yang tercatat sekitar delapan ribu. Artinya banyak perempuan yang tidak terdeteksi dan kemungkinan datang terlambat atau sudah meninggal,” ujar dr. Siti Nadia.
Melalui RAN Eliminasi Kanker Serviks, pemerintah menargetkan 90 persen anak laki-laki dan perempuan divaksinasi HPV, 75 persen perempuan usia 30–69 tahun menjalani skrining HPV DNA, serta 90 persen perempuan dengan lesi pra-invasif dan invasif ditatalaksana.
Baca Juga: Benarkah Alzheimer Lebih Seram dari Kanker?
Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa metode skrining nasional kini beralih dari IVA menuju HPV DNA testing, metode yang lebih sensitif dan efektif. Skrining juga dapat dilakukan melalui metode self-sampling atau pengambilan sampel mandiri yang terbukti meningkatkan kenyamanan dan keterlibatan perempuan.
“Self-sampling terbukti mengurangi rasa malu dan ketidaknyamanan yang menjadi hambatan perempuan untuk datang ke fasilitas kesehatan,” jelas Mutia Sayekti.
White paper menunjukkan hasil studi di Jawa Timur dengan tingkat penerimaan self-sampling yang cukup tinggi, serta positivity rate sekitar 4,9 persen yang selaras dengan temuan internasional.
Baca Juga: Terobosan Baru! POGI Rilis Rekomendasi Vaksinasi HPV untuk Wanita Pra-Nikah dan Pascapersalinan
Tantangan terbesar berada pada kesiapan laboratorium. Dari kebutuhan untuk menjangkau 380 kabupaten/kota, saat ini baru tersedia 199 laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan PCR untuk HPV DNA.
“Kita harus melihat readiness secara end-to-end. Jangan sampai spesimen menumpuk karena lab belum siap,” tegas dr. Nadia.
Mutia menambahkan perlunya penerapan model hub and spoke untuk pemerataan akses diagnostik. Pilot project di Surabaya dan Sidoarjo terbukti membantu mempercepat pemrosesan sampel, memperbaiki alur rujukan, dan memperkuat edukasi komunitas.
Di sisi lain, meningkatkan kesadaran publik juga menjadi faktor kunci.
Baca Juga: 11 Mitos tentang Vaksinasi HPV yang Perlu Diketahui
"Hambatannya ada pada demand side. Banyak ibu-ibu masih takut dan malu. Teman-teman media punya peran besar membuat masyarakat sadar bahwa ini tentang masa depan dan keselamatan mereka,” ujar dr. Hasbullah.
Ia menegaskan bahwa pendanaan bukan alasan utama karena deteksi dini justru menekan biaya pengobatan di JKN. “Kalau ditemukan lebih awal, pembiayaan jauh lebih ringan daripada ketika sudah stadium lanjut,” tambahnya.
Skrining kanker serviks diharapkan mulai terintegrasi dalam Program Cek Kesehatan Gratis sejak Februari 2025. Melalui integrasi ke platform digital Satu Sehat, hasil pemeriksaan dan tindak lanjut dapat dipantau lebih akurat.
“Harapannya, semua perempuan yang datang ke puskesmas untuk cek kesehatan juga melakukan skrining kanker leher rahim,” kata dr. Nadia.
Baca Juga: Sinergi BD dan RSK Dharmais Perkuat Upaya Perluasan Skrining Kanker Serviks di Indonesia
White paper InaHEA merekomendasikan tiga pilar penguatan skrining nasional, yaitu perluasan self-sampling untuk menjangkau daerah terpencil, penguatan model hub and spoke untuk memastikan ketersediaan akses diagnostik, serta kolaborasi pentahelix antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, masyarakat sipil, dan media.
“Kalau evidencenya sudah sahih dan manfaat ekonominya jelas, pemerintah harus berani mengambil keputusan,” ujar dr. Hasbullah.
Menuju Eliminasi Kanker Serviks 2030, kanker serviks merupakan satu-satunya kanker yang dapat dieliminasi secara populasi melalui vaksinasi, skrining, dan tatalaksana yang tepat. Dengan perluasan self-sampling, penguatan infrastruktur, dan sinergi lintas sektor, harapan eliminasi kanker serviks pada 2030 bukanlah hal yang mustahil.