Pengusaha sukses Tanah Air, Ciputra mengalami masa-masa sulit pada masa lampau sebelum ia merengkuh kesuksesan di sejumlah lini bisnis sekarang.
Di masa lampau Ciputra sempat berpindah tempat tinggal karena berbagai alasan. Masih segar dalam ingatannya ketika sayang ayah membawa mereka pindah dari Parigi ke Bumbulan pada 1939,
Keputusan pindah itu dilatarbelakangi berbagai alasan, selain mencari tempat perlindungan yang aman dari ancaman bencana alam, alasan lainnya karena permintaan sang kakek yang memang telah lama menetap di sana. Kondisi kesehatan kakek ketika sudah mulai menurun, ia meminta ibu dan ayah Ciputra merawatnya sembari meneruskan usaha toko yang telah lama ia rintis.
Baca Juga: Kisah Ciputra dengan Luka Masa Lalu yang Bentuk Mental Pantang Menyerah dan Pemberani
“Papa ikhlas meninggalkan usaha toko kelontong yang ia rintis di Parigi dan bekerja untuk Engkong. Ternyata itu keputusan yang tepat. Karena tak lama kemudian Engkong wafat. Titah Engkong agar Papa mengurus tokonya di Bumbulan merupakan wangsit terakhir,” kata Ciputra dilansir Olenka.id Senin (2/6/2025).
Di tangan ayah Ciputra, usaha warisan itu mampu berkembang pesat, usaha sang kakek dikelola dengan penuh kesungguhan hati. Namun di tengah perkembangan pesat usaha itu, masalah baru mulai muncul kekhawatiran melanda keluarga Ciputra ketika mendengar Jepang segera masuk dan menjajah Indonesia menggantikan Belanda yang telah menyerah pada sekutu.
“Info tentang kedatangan Jepang ini membuat Papa bergidik. Ia teringat trauma masa kecil yang mengetahui peperangan Jepang melawan Tiongkok. Walau sebetulnya Belanda pun tak kalah kejam,” ujar Ciputra.
“Ia pernah bercerita pada kami betapa kejamnya perang Jepang dan Tiongkok. Tentara atau pejuang Tiongkok yang ditangkapi serdadu Jepang habis disiksa. Siksaan itu diketahui juga oleh penduduk Fujian sehingga banyak menjejakkan trauma,” tambahnya.
Persiapan Menghadapi Jepang
Ayah Ciputra tak mau begitu saja pasrah pada keadaan dan mengharapkan keajaiban. Segala sesuatunya mesti dipersiapkan dengan matang, sang ayah melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan hal-hal buruk yang bisa saja menimpa keluarganya saat pendudukan Jepang.
“Karena rasa cemas yang dahsyat, Papa melakukan persiapan untuk melindungi keluarga kami jika kehidupan menjadi buruk pasca kedatangan Jepang. Ia membeli dua ekor sapi besar dan sebidang tanah di Popaya, sebuah daerah perkebunan yang jaraknya sekitar tujuh kilometer dari Pantai Bumbulan. Papa menggaji seorang pekerja untuk mengolah kebun itu. Ia juga memiliki kebun kelapa yang tak seberapa luas,” tuturnya.
“Buah kelapa dari kebun dijadikan kopra dan dijual pada perusahaan Belanda, Copra Fund. Sebagian juga dibeli masyarakat. Itu semua persiapan menghadapi kehidupan yang bisa saja sulit jika Jepang datang Kebetulan kami sudah memiliki satu bendi beserta dua kuda. Selain itu, Mama juga sudah sejak lama rajin menabung perhiasan emas,” ujarnya.
Kembali ke Sekolah
Kehidupan keluarga Ciputra di Bumbulun sangat harmonis, semua berjalan sesuai rencana,namun di Bumbulan pula Ciputra menjadi salah satu anak yang putus sekolah.
Ada alasan kuat yang mendasari hal itu, pertama Ciputra masih enggan balik ke sekolah, ia hantam trauma setelah dirinya tinggal kelas, alasan berikutnya lantaran ia sudah tak bisa mengejar Tahun ajaran baru setelah keluarganya pindah ke Bumbulan.
“Jadi saya menganggur sekolah selama satu setengah tahun. Selama itu saya menikmati kehidupan yang begitu menyenangkan di tengah keluarga,” ucap Ciputra.
Kondisi pendidikan Ciputra membuat ibu dan ayahnya sangat khawatir, anak paling bontot mereka itu sudah mulai nyaman menikmati kehidupan di luar sekolah. Orang tuanya pun mulai putar otak untuk membawa Ciputra kembali ke ruang kelas.
Kekhawatiran itu yang kemudian melahirkan sebuah ide baru. Sang ayah kemudian mendirikan sebuah sekolah baru yang dikhususkan untuk anak-anak Tionghoa, kebetulan di Bumbulan terdapat sekitar 10 keluarga Tionghoa.
Baca Juga: Mengulik Potret Kecil Ir. Ciputra: dari Luka dan Trauma Menjadi Legenda Properti Indonesia
“Berlama-lama menganggur tak sekolah membuat Papa sangat
mengkhawatirkan saya. Ia kemudian berinisiatif mendirikan sekolah Tionghoa bersama beberapa temannya. Tujuannya agar anak-anak dari keluarga Tionghoa bisa mendapatkan pendidikan yang baik. Ada kira-kira sepuluh murid,” katanya lagi.
Singkat cerita, misi mendirikan sekolah Tionghoa itu berjalan sesuai rencana, meski gedung sekolahnya hanyalah sebuah rumah sederhana, namun kualitas pendidikannya mampu bersaing, ayah Ciputra berhasil menggaet tenaga pengajar yang mumpuni.
“Bangunannya sederhana saja. Tak beda dengan rumah-rumah kecil penduduk lainnya. Papa mencari guru yang bagus. Saya pun bisa sekolah lagi,” ucapnya.
Masa Keci di Bumbulun
Keputusan pindah ke Bumbulan membuat Ciputara menemukan kehidupan masa kecil yang menyenangkan, keindahaan alam di tempat ini membuat Ciputra jatuh cinta setiap hari pada tempat ini.Bahkan sampai sekarang, bagi Ciputra, Bumbulan adalah surga. Kenangan masa kecilnya masih terasip rapi di dalam pikirannya.
Keindahan Pantai Bumbulan membikin Ciputra sangat betah di sana, laut biru toska dipadu hamparan pasir putih keabuan di bibir pantai Bumbulan yang diteduhkan deretan pohon nyiur yang menjulang masih ia ingat betul.
Nyanyian anak-anak muda di pinggir pantai kala senja datang juga masih terngiang di telinganya, semua kenangan manis itu masih teringat dengan baik.
“Anak-anak muda sering bermain gitar tradisional di pinggir pantai dan menyanyikan lagu Ombak Putih-Putih dengan syahdu. Syairnya masih saya ingat, ombak putih-putih...ombak datang dari laut... kipas Lenso putih tanah Ambon sudah jauh.. Lagu yang sangat indah dan berhasil terbingkai di hati saya,” kenang Ciputra.
Baca Juga: Awan Mendung dan Ujian Mahaberat Pernikahan Orang Tua Ciputra
Bagi Ciputra pantai adalah arena bermain, ia sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di sana, sesekali ia juga membawa serta tiga ekor anjingnya ke pantai hanya untuk menunggu senja datang.
“Pada sore hari saya mengajak anjing-anjing saya mandi dan bermain di pantai, bersama Ako (sang kakak) dan sejumlah anak lain. Kami biasa menghabiskan senja di pantai hingga langit yang merah berubah jadi gelap,” katanya lagi.
“Anjing-anjing saya ikut berenang. Mereka memburu apa saja yang saya lempar. Sabut kelapa, batu, apa saja. Sore selalu menyenangkan. Pemandangan khas yang tak kalah menarik di pantai adalah saat para nelayan kembali dari laut. Pagi hari biasanya para nelayan kembali dari tengah laut dan membawa banyak ikan. Pasar dadakan pun digelar,” tambahnya mengenang kehidupan masa kecilnya di Bumbulan.