Di tengah ancaman climate change, diperlukan aksi nyata merawat bumi tanpa melupakan nilai ekonomis bagi perusahaan agar bisnis tetap berjalan. Atas dasar itu, kini mulai banyak bermunculan social ecopreneur, yakni pengusaha yang tidak hanya berfokus pada keuntungan (profit), tetapi juga pada penanggulangan masalah sosial (people) hingga lingkungan (planet).
Direktur Pengelolaan Sampah Kemen-LHK, Novrizal Tahar, menyebut bahwa social ecopreneur merupakan bagian dalam menghadapi tiga ancaman krisis besar saat ini: climate change, biodiversity lost, dan pollution.
Baca Juga: Peresmian Waste Station Kerja Sama Rekosistem-MCI di Hari Peduli Sampah Nasional
"Saya mengapresiasi pencapaian Rekosistem yang menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Rekosistem juga merupakan bagian dari social ecopreneur," kata Novrizal dalam acara Rekosistem dengan tema "REShape The Future" di Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Sementara itu, Ernest Layman selaku CEO dan Co-Founder Rekosistem menyebut bahwa pihaknya mendorong keberlanjutan lingkungan untuk masyarakat melalui kampanye #PilahKemasSetor. Masyarakat dapat menerima reward points jika menyetor sampah anorganik melalui Reko Waste Station yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.
"Melalui aplikasi Rekosistem, pelanggan kami dapat mengukur dampak nyata mereka terhadap lingkungan dan komunitas. Kami juga terus membuka fasilitas baru untuk dapat menopang antusiasme pelanggan kami dalam mengelola sampah mereka," ucap Ernest di Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Pada tahun 2023, Rekosistem berhasil mengelola total 35 ribu ton sampah, meningkat 84,2% dibandingkan tahun 2022. Rekosistem juga berhasil menyuplai 5.800 ton sampah untuk menjadi biofuel dan sumber energi terbarukan. Melalui pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular, Rekosistem berhasil menghasilkan penghematan karbon sebesar 16.167 ton pada tahun 2023.
Dengan pencapaian tersebut, Ernest melihat bahwa kesadaran masyarakat untuk memilah sampah terus meningkat. Kontribusi itu secara tidak langsung telah meningkatkan literasi ekologi atau ecoliteracy di tengah masyarakat Indonesia. Secara sederhana, ecoliteracy adalah kemampuan memahami pentingnya ekosistem (lingkungan tempat tinggal manusia atau alam) yang pada akhirnya akan memunculkan kepedulian dan pemahaman tentang menjaga alam sehingga menciptakan gaya hidup ramah lingkungan.
"Dengan makin banyaknya orang-orang yang memilah sampah, dampak positif yang dihasilkan juga makin besar. Pertama, dampak ke people, para pekerja sampah mendapatkan suplai sampah yang lebih banyak sehingga pendapatan mereka meningkat. Kedua, dampak ke lingkungan: makin banyak orang yang memilah sampah, sampah yang terbuang sia-sia jadi makin sedikit karena makin banyaknya sampah yang dapat didaur ulang dengan baik," terang Ernest.
Yang ketiga, lanjutnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya memilah sampah juga berdampak positif pada aspek bisnis karena makin banyaknya nilai ekonomis dari sampah yang dihasilkan. "Jadi, dampaknya besar, baik ke orang-orang, society atau lingkungan, dan baik ke nilai ekonomi," tegas Ernest.
Baca Juga: Hadapi Tantangan Tech Winter, Startup Perlu Fokus 3 Aspek Ini untuk Raih Pendanaan Investor
Rekosistem masih berfokus sebagai solusi pengelolaan sampah di kawasan pemukiman dan kolaborasi dengan pemerintah atau perusahaan swasta di area Pulau Jawa. Di tahun ini, Rekosistem berencana memperluas layanan dan meningkatkan daerah cakupan untuk meningkatkan efisiensi, keberlanjutan, dan dampak lingkungan. Selain itu, Rekosistem akan terus meningkatkan teknologi pengelolaan sampah dengan menggunakan sistem pengelolaan sampah terintegrasi, yaitu penerapan Internet of Things (IoT) dan Machine Learning (ML) untuk menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi pengumpulan sampah. Tujuannya, bisa membangun kapasitasi pengelolaan sampah hingga 20.000 ton per bulan di 2025.