Berdasarkan laporan PwC, 95% perusahaan yang ada di Indonesia adalah bisnis milik keluarga. Dominasi perusahaan keluarga ini tak hanya berasal dari perusahaan kecil. Riset BCG menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan raksasa di Asia Tenggara berasal dari bisnis keluarga. Sebanyak 54% dari 200 perusahaan terbesar di wilayah ini merupakan perusahaan keluarga.

"Perusahaan keluarga yang besar ini memiliki pengaruh besar pada ekonomi. Akan tetapi, mereka juga rentan mengalami perpecahan akibat ketegangan antar-anggota keluarga,” ujar Marleen Dieleman, Profesor Bisnis Keluarga Peter Lorange IMD, dikutip Minggu (26/5/2024).

Baca Juga: Gebrakan Bisnis Go Global! Kapal PTK Resmi Beroperasi di Perairan Internasional

Untuk itu, The International Institute of Management and Development (IMD) dan Entrepreneurs’ Organization (EO) Indonesia menggelar seminar untuk mendiskusikan tata kelola demi menjaga keharmonisan keluarga sembari terus menjaga kesuksesan bisnis keluarga.

Presiden EO Indonesia, Sophia Sung, menyatakan, tanpa perencanaan dan peraturan keluarga yang matang, potensi perselisihan dan perebutan kekuasaan meningkat sehingga menjadi pemicu keretakan keluarga. Oleh karena itu, generasi kedua dan ketiga yang terdampak oleh konflik keluarga terpicu untuk mencari solusi agar masalah serupa tak lagi terjadi. 

"Salah satu contohnya adalah Grup Kawan Lama yang kini dikelola oleh generasi ketiga. Mereka memiliki banyak entitas bisnis, tapi tetap bisa menjaga keharmonisan keluarga. Grup Bluebird juga kini ada di tangan generasi ketiga dan mereka mampu mengelola dengan baik," paparnya.

Menurut Dieleman, transisi antargenerasi di perusahaan keluarga memang perlu dilakukan secara hati-hati. Pemilik perusahaan memiliki kecenderungan untuk menunda dalam meningkatkan profesionalitas tata kelola mereka. "Dengan maraknya peralihan perusahaan keluarga dari generasi dua ke generasi ketiga di Indonesia, kurangnya perhatian pada tata kelola ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kegagalan bisnis para konglomerat ini," tambahnya.

Sesuai namanya, bisnis keluarga memadukan dua hal: bisnis dan keluarga. Untuk itu, pertama-tama pemilik bisnis perlu melakukan penilaian seberapa besar dan rumit bisnis dan keluarga mereka. Dari hasil penilaian itu, pemilik bisnis lantas bisa menentukan seberapa sistem tata kelola seperti apa yang perlu diterapkan.

Dieleman lalu memperkenalkan kerangka GRID, Governance Risk Identifier (Pengidentifikasi Risiko Tata Kelola) untuk menjadi tolok ukur bisnis keluarga untuk menerapkan tata kelola yang relevan. Kerangka GRID ini dibagi menjadi empat kuadran untuk membedakan tingkat kompleksitas bisnis dan keluarga. Keempat kuadran itu akan memberikan solusi tata kelola yang tepat, seperti dijelaskan sebagai berikut:

1. Bisnis sederhana, keluarga sederhana

Ciri: Bisnis terfokus, sedikit anggota keluarga terlibat. Banyak restoran keluarga di Indonesia yang termasuk dalam kategori ini.

Solusi: Sistem tata kelola sederhana untuk bisnis dan keluarga sudah cukup.

2. Bisnis sederhana, keluarga kompleks

Ciri: Bisnis relatif sederhana, tetapi banyak anggota keluarga yang terlibat dalam pengelolaan, kepemilikan, atau keduanya. Misal, pendiri mempunyai banyak anak dan cucu, semua ikut terlibat bersama pasangannya.

Solusi: Perlu koordinasi antar-anggota keluarga untuk menghindari kesalahpahaman. Konstitusi keluarga diperlukan sebagai dasar kepemilikan, pengelolaan, dan hierarki bisnis. Pembentukan dewan keluarga pun bisa membantu pengambilan keputusan bersama.

3. Bisnis yang rumit, keluarga sederhana

Ciri: Bisnis besar, terdiversifikasi, dan mungkin bersifat global, tetapi hanya satu atau beberapa anggota keluarga yang terlibat. Hal ini terjadi ketika bisnis yang dikelola pendiri tunggal berkembang pesat, tetapi tidak ada penerus atau anggota keluarga tidak tertarik meneruskan.

Solusi: Tingkatkan tata kelola dan profesionalitas bisnis, berinvestasi untuk mengangkat manajerial yang andal agar tak tergantung pada kelangkaan sumber daya dari keluarga. Tata kelola keluarga dalam bentuk konstitusi atau dewan keluarga kurang relevan.

4. Bisnis yang rumit, keluarga yang kompleks

Ciri: Jenis usaha konglomerasi besar yang beroperasi di berbagai industri atau di banyak negara, dan merupakan perusahaan terbuka. Anggota keluarga multigenerasi ikut bergabung dalam perusahaan dengan tingkat kepemilikan dan peran yang berbeda-beda. Tipe ini dimiliki oleh banyak konglomerat besar Indonesia saat ini.

Solusi: Perlu investasi signifikan terhadap tata kelola perusahaan dan aturan keluarga untuk memperjelas ekspektasi tiap anggota keluarga. Tanpa investasi semacam ini, bisnis keluarga jenis ini berisiko menjadi tidak stabil dan didukung oleh perseteruan keluarga.

Baca Juga: Cerita di Balik Suksesnya Cimory: Bawa Misi Berdayakan Peternak hingga Tak Lelah Berinovasi

"Perbedaan kompleksitas keluarga dan bisnis memerlukan strategi yang berbeda. Apa yang berhasil untuk bisnis keluarga kecil belum tentu berhasil untuk konglomerat raksasa yang melibatkan lebih banyak anggota keluarga. Oleh karena itu, kerangka GRID dapat menjadi panduan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dan menjaga keharmonisan keluarga," tegas Dieleman.