Psikolog Anak dan Praktisi Therapeutic Play, Anastasia Satriyo, mengungkapkan bahwa pola asuh anak dan kesehatan mental sebaiknya dilakukan secara seimbang. Anastasia menjelaskan bahwa ada berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua agar anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang pemalu. Orang tua perlu memahami tahapan tumbuh kembang anak dan memberi kesempatan agar anak dapat bereksplorasi.

“Sejak usia bayi hingga dua tahun misalnya, orang tua cukup ikuti tahapan perkembangan motorik mereka. Temani anak dalam belajar merangkak, mengangkat kepala, tummy time, hingga belajar berjalan,” ungkap Anastasia Satriyo dalam Peluncuran Lexus Edisi Spesial BT21 di Jakarta, Jumat (10/10/2025).

Menurutnya, anak-anak yang berusia di bawah dua tahun akan banyak belajar dari ekspresi wajah orang tuanya. Jika orang tua terlalu takut atau memperlihatkan ekspresi tidak suka saat anak bereksplorasi, hal itu dapat tertanam di benak anak dan membuat mereka takut mencoba hal-hal baru.

Baca Juga: 11 Perempuan Influencer Parenting Ternama Indonesia yang Menginspirasi Orang Tua Muda

“Kalau orang tua terlalu parno, meskipun anak-anak belum mengenal makna yang diucapkan orang tuanya, tetapi mereka bisa membaca ekspresi dari orang tuanya. Jika wajah kita menunjukkan rasa tidak suka saat mereka bereksplorasi, hal ini akan membentuk rasa takut di kepala mereka untuk mencoba,” ucapnya.

Ia menyarankan agar para orang tua membiarkan anak bereksplorasi secara bertahap, seperti mengajak mereka ke playground. Dalam proses ini, kehadiran orang tua sebagai pendamping akan memberikan rasa aman bagi anak dalam bereksplorasi.

Anastasia juga menyebut bahwa proses pola asuh anak parenting dan kesehatan mental merupakan proses yang harus dilakukan secara seimbang. Jika orang tua terlalu membatasi anak tidak baik, tetapi jika orang tua terlalu meremehkan kemampuan anak juga tidak baik.

“Makanya tentang parenting dan kesehatan mental mirip seperti ucapan lagu Rhoma Irama, sungguh terlalu karena segala sesuatu yang terlalu itu tidak baik. Jika terlalu tidak memberi kesempatan anak untuk mencoba itu tidak baik, tetapi terlalu meremehkan anak juga tidak baik. Jadi harus di tengah-tengah, harus try and error mencoba agar mereka memiliki pengalaman,” sebutnya.

Lebih lanjut, Anastasia menegaskan bahwa orang tua harus memiliki pengetahuan dalam tahap perkembangan anak agar anak-anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang pemalu. Banyak orang tua yang memiliki ekspektasi tidak realistis terhadap kemampuan anak karena mereka belum memahami tahapan tumbuh kembang anak.

“Otak anak itu seperti otot, mereka bekerja dengan repetisi atau berulang. Anak usia di bawah lima tahun masih fokus pada kemampuan motorik, seperti memanjat, melompat, atau bermain secara mandiri. Jangan dipaksa untuk pandai berbagi atau bersosialisasi terlalu cepat,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa kepercayaan diri anak di bangku Sekolah Dasar(SD dibangun dari rasa melakukan sesuatu. Sebaiknya orang tua memberi kesempatan anak untuk mencoba berbagai aktivitas, seperti berenang, basket, atau musik, agar mereka menemukan kemampuannya.

“Kalau anak merasa bisa, mereka akan merasa dirinya berharga dan itu yang akan memabngun rasa kepercayaan diri mereka. Selain itu, penting bagi orang tua menggunakan intonasi yang ramah agar memberi kesan kehangatan ke mereka,” tambahnya.

Anastasia mengingatkan bahwa setiap usia memiliki cara yang berbeda dalam membangun kepercayaan diri. Dalam hal ini orang tua perlu memahami tiap tahap agar anak dapat tumbuh percaya diri. Saat kecil, orang tua cukup fokus pada motorik, pada usia Sekolah Dasar (SD) fokus pada rasa mampu, dan masa remaja fokus pada interaksi sosial.