Ajib melanjutkan, narasi yang ada seperti itu tentunya bersifat kontra produktif ketika kemudian satu sisi pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi ke depannya. Dan bahkan kemudian jika kita mengacu pada beberapa data dari LPEM UI, dimana ada kajian yang dilakukan dari tahun 2018 sampai 2023 kemarin, bahwa tidak kurang dari 8,5 juta masyarakat Indonesia itu turun kelas.
“Artinya, ketika kemudian masyarakat sedang mengalami penurunan daya beli, maka justru dibutuhkan insentif pemerintah sehingga bagaimana daya beli itu terus terjaga dengan baik. Itu konteks bagaimana peningkatan tarif PPN itu akan memperberat daya beli masyarakat,” tegas Ajib.
Ajib lantas mengatakan, jika pemerintah tetap ingin memaksakan kenaikan tarif PPN pada 1 Januari 2025, maka seyogyanya pemerintah itu juga mengimbangi dengan insentif fiskal yang lain.
“Karena ketika terjadi disinsentif dalam konteks PPN, yang kami (Apindo) juga memaklumi karena ketika tarif pajak dinaikkan dari 11 persen jadi 12 persen, maka yang masuk ke APBN itu tidak kurang RP 80-100 triliun tanpa effort tambahan dari pemerintah, dengan cukup menaikkan satu tarif PPN tersebut. Tapi kemudian, bagaimana seharusnya ada insentif di sisi lain sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga,” ujar Ajib.
Sebagai langkah mitigasi, tambah Ajib, Apindo pun merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan penundaan penerapan PPN 12 persen hingga daya beli masyarakat lebih stabil dan pertumbuhan ekonomi mencapai tingkat yang lebih kokoh.
Baca Juga: Pro-Kontra Kenaikan PPN Jadi 12%, yang Berdampak Bagi Ekonomi dan Kehidupan Masyarakat
Jika pada akhirnya tarif PPN naik, maka Apindo juga menyarankan agar pemerintah menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah dari dampak inflasi akibat kenaikan PPN.
“Sebagai contoh, misalnya tarif PPN dinaikkan tapi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) juga dinaikkan. Karena kalau kita lihat, PTKP sudah sejak tahun 2016 belum pernah dinaikkan lagi sesuai dengan PMK nomor 101,” lanjut Ajib.
Terakhir, Ajib pun berharap, ketika satu sisi pemerintah memberikan disinsentif fiskal, pemerintah juga harus secara fair memberikan insentif fiskal di tempat lain ketika penghasilan tidak kena pajak atau PTKP dinaikkan.
“Misalnya dari Rp 54 juta dinaikkan jadi Rp 100 juta, maka tentunya selisih yang tadinya dibayar pajak melalui PPh, kemudian juga akan masuk ke kas negara melalui tarif PPN instrumen tarif PPN yang naik. Dan toh masyarakat golongan menengah dan bawah ketika mereka mendapatkan ekstra penghasilan, karena efisiensi pajak penghasilan kecenderungan mereka tuh pasti akan dibelanjakan lagi,” beber Ajib.
Dengan langkah seperti itu, lanjut Ajib, maka satu sisi ekonomi tetap bisa bergerak dengan baik, dan satu sisi pemerintah secara budgeter juga aman.
“Artinya, satu sisi ekonomi tetap bisa bergerak dengan baik. Satu sisi pemerintah secara budgeter juga aman, tapi satu sisi pemerintah juga bisa mengoptimalkan bagaimana kebijakan fiskal itu bisa bermanfaat terhadap pertumbuhan ekonomi yang ada,” pungkas Ajib Hamdani.
Baca Juga: Peran Tax Amnesty Jilid III bagi Capaian Ekonomi 8%