Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) telah diberlakukan Pemerintah Indonesia kepada tujuh industri sejak 2020, salah satunya adalah industri pupuk. Hal itu diakui memainkan peran penting dalam mendukung produktivitas pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia.
Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, menyatakan bahwa gas menjadi bahan baku penting untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan pupuk, dan ketahanan pangan nasional. Kebijakan HGBT, ujarnya, mendukung perusahaan dalam menjaga ketersediaan dan keterjangkauan pupuk bagi petani. Selain itu, pupuk berbasis gas alam seperti Urea, NPK, dan ZA, akan membantu meningkatkan produktivitas berbagai jenis tanaman pertanian, perkebunan, hortikultura, dan sebagainya.
Baca Juga: Ramadan Datang, Menko Airlangga Pantau Komoditas Pangan
"Kaitan antara pupuk dan ketahanan pangan sangat jelas. Secara konsensus umum, tanaman pangan bila tidak diberikan pupuk berbasis gas N (Nitrogen), produktivitasnya dapat turun 50%. Padahal, Indonesia punya sumber gas. Dengan kapasitas produksi 14,5 juta ton per tahun, Pupuk Indonesia siap mendukung produktivitas industri pertanian lewat pupuk," ungkap Rahmad dalam acara IDE Katadata 2024, di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Pupuk Indonesia mengungkapkan, penerapan kebijakan HGBT menghasilkan efisiensi biaya konsumsi gas sekitar Rp10,91 triliun pada tahun 2022. Dengan HGBT, produksi pupuk dalam negeri menjadi lebih kompetitif sehingga pemerintah bisa menetapkan volume atau alokasi pupuk bersubsidi secara optimal.
Rahmad menekankan, Pupuk Indonesia menyadari pentingnya keberlanjutan HGBT. Industri pertanian butuh regulasi harga gas agar tetap dapat kompetitif dalam mendukung ekspansi kapasitas produksi pupuk bersubsidi. Dengan kondisi ini, tekannya, produktivitas industri pupuk dapat ditingkatkan secara signifikan.
Hal ini selaras dengan kebijakan baru yang telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, terkait peningkatan alokasi pupuk subsidi dari 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton sepanjang tahun 2024. Penetapan kebijakan tersebut dapat menjadi salah satu langkah penting dalam mendukung produktivitas para petani.
Baca Juga: Social Ecopreneur, Solusi Bisnis Tingkatkan Ecoliteracy dan Tetap Potensial
Petani, sebagai ujung tombak produksi pangan, sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan ketersediaan pupuk. Bila harga pupuk melonjak, petani bisa terdorong untuk mengurangi penggunaan pupuk yang bisa berdampak pada produktivitas panen atau bahkan memilih untuk tidak menanam yang pada akhirnya akan berdampak pada produksi pangan nasional. Diketahui, kebijakan HGBT akan berakhir di tahun 2024.
"Bagi kami di industri pupuk, yang menjadi kekhawatiran terkait ketahanan pangan adalah setelah tahun 2024 karena agroinput sumbernya adalah gas. Seperti yang diketahui, kebijakan harga gas bumi tertentu terhadap industri pupuk akan berakhir di 2024. Bila kebijakan HGBT tidak dilanjutkan, dari sisi ketersediaan mungkin tetap ada, tetapi dari sisi keterjangkauan bagi petani akan menjadi pertanyaan," tutup Rahmad.