Amerika Serikat diketahui mencetak dolar dalam jumlah besar sebagai upaya mengendalikan kondisi ekonomi mereka. Hal itu merupakan bagian dari countercyclical atau upaya yang dilakukan suatu negara guna mendongkrak kondisi ekonomi yang lemah baik secara moneter maupun fiskal.
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, menjelaskan, countercyclical lewat moneter dapat dilakukan dengan menurunkan suku bunga acuan dan mencetak uang. Sementara itu, kebijakan fiskal dilakukan dengan melakukan defisit anggaran dan memakai utang. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Amerika mampu mencetak uang dalam jumlah besar, tapi tidak terkena inflasi?
Baca Juga: Menguak Penyebab Jatuhnya Raksasa Tekstil Sritex
"Kok bisa Amerika printing money banyak sekali, tapi tidak terdampak inflasi? Nyatanya, terjadi inflasi di Amerika pada tahun 2022 silam, bahkan berlanjut hingga sekarang. Hal itu memang membuat kaget," jelasnya saat menjawab pertanyaan salah satu mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dalam sebuah kesempatan, dikutip Jumat (1/11/2024).
Namun, Amerika sempat berhasil mengatasi krisis ekonomi dengan mencetak banyak uang tanpa terkena inflasi, seperti yang terjadi saat krisis finansial global tahun 2008-2009 dan di masa Covid-19 di tahun 2020. Pasalnya, Amerika mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki negara lain.
"Amerika punya privilege yang tidak dimiliki oleh ekonomi siapa pun, bahkan di G7. Pertama, Amerika merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Kedua, Amerika mengendalikan monopoli di banyak sekali teknologi," jelas mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.
Amerika diketahui menggunakan dolar sebagai salah satu proxy dalam kekuatan geopolitik mereka. Banyak negara di dunia yang menggunakan dolar untuk mengendalikan ekonomi negara mereka sehingga perputaran dolar tidak hanya berpengaruh pada Amerika, tapi juga perekonomian dunia.
"Walaupun ekonomi Amerika sekitar 28% dari ekonomi dunia, penggunaan dolar Amerika hampir 60%. Sekarang sudah menurun ke 50%," terangnya.
Kuatnya ekonomi Amerika memunculkan kompetitor baru yang ingin mendobrak dominasi dolar, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RTT). Dari sinilah muncul usaha membuat alternatif mata uang selain dolar, seperti yang dilakukan RTT dengan Renminbi.
"Jadi, kemampuan mengelola mata uang hingga di luar yuridiksi adalah kekuatan untuk tidak hanya mengontrol ekonomi dalam negeri, tapi juga ekonomi negara yang menggunakan mata uang tersebut. Amerika bisa melakukan itu karena kekuatan ekonomi dan geopolitik mereka," tegas Sri Mulyani.
"Namun, dunia mulai sadar tingginya risiko yang dihadapi jika hanya bergantung pada satu negara sehingga muncul berbagai macam bilateral swap, muncul arrangement currency yang coba melawan dominasi dolar, dan proses itu akan berjalan terus," pungkasnya.