Ekosistem fintech Indonesia tengah menghadapi tantangan serius. Pendanaan bagi perusahaan rintisan pada kuartal I/2025 tercatat hanya sebesar US$44,56 juta, turun drastis 85,86% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$315,22 juta.
Penurunan tersebut mencerminkan berkurangnya kepercayaan investor terhadap tata kelola startup di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Prof. Gatot Soepriyanto, Ph.D., Guru Besar Bidang Fraud Examination dari Universitas Bina Nusantara (BINUS), menilai ada dua faktor utama penyebab stagnasi investasi ini. Pertama, lemahnya kepercayaan terhadap tata kelola perusahaan fintech. Kedua, efek kupu-kupu atau multiplier effect dari kondisi ekonomi makro global yang masih diliputi ketidakpastian.
Baca Juga: Peran Penting Kolaborasi untuk Capai Keseimbangan Pertumbuhan Fintech
“Semua pihak saat ini bersikap wait and see, baik investor, pelaku usaha, maupun lembaga pendana seperti venture capital dan sovereign wealth fund. Mereka masih menahan diri sambil mengamati kondisi,” ujar Prof. Gatot kepada Olenka pada Selasa (01/07/2025).
Namun, Prof. Gatot juga mencatat bahwa sebagian investor sebenarnya masih aktif memutar dana, tetapi dengan seleksi yang lebih ketat dan fokus pada perusahaan-perusahaan dengan fundamental yang kuat dan tata kelola yang baik.
Fenomena melemahnya pendanaan ini juga menjadi salah satu sorotan utama dalam orasi ilmiah Prof. Gatot pada peringatan Dies Natalis ke-44 BINUS University. Ia membedah kegagalan tata kelola di sejumlah startup fintech ternama seperti eFishery, KoinWorks, Investree, TaniFund, dan Crowde.
Baca Juga: 78% Milenial dan Gen Z Adopsi Fintech, Layanan Buy Now Pay Later Kian Mendominasi
Dengan menggunakan pendekatan Fraud Triangle dan Upper Echelons Theory, ia menjelaskan bahwa kegagalan startup bukan semata akibat faktor teknologi atau pasar, melainkan kegagalan kepemimpinan dan lemahnya pengawasan internal. Tekanan pertumbuhan yang tidak realistis, lemahnya akuntabilitas, serta penyimpangan etika di level pimpinan menjadi akar permasalahan utama.
“Penyalahgunaan dana, manipulasi laporan keuangan, hingga penciptaan pinjaman fiktif adalah tanda bahwa integritas pimpinan telah runtuh. Ini bukan kegagalan sistem, tapi kegagalan nilai,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengkritik lambatnya intervensi regulator serta absennya dewan pengawas independen di tahap awal pertumbuhan startup. Untuk mencegah krisis kepercayaan yang lebih dalam, Prof. Gatot mengusulkan sejumlah langkah konkret, yakni audit forensik berkala oleh OJK, pembentukan dewan pengawas independen sejak pendanaan Seri A, serta penguatan kurikulum tata kelola dan etika di perguruan tinggi.
Baca Juga: Meneropong Tantangan dan Peluang Industri Fintech Indonesia di Tahun 2024
Meskipun latar belakangnya sebagai akademisi, Prof. Gatot menegaskan bahwa pendekatan lintas sektor adalah kunci.
“Kita perlu membangun ekosistem startup yang sehat, bukan hanya cepat. Kolaborasi antara regulator, akademisi, dan pelaku industri sangat diperlukan," tegasnya.
Dalam konteks ini, BINUS University disebut telah mengambil langkah konkret melalui pendidikan, riset, dan pelatihan berbasis kasus nyata. Komitmen ini menjadi bagian dari kontribusi BINUS dalam membentuk generasi digital yang tak hanya inovatif, tetapi juga berintegritas, menuju visi besar Indonesia Emas 2045.
Baca Juga: Mahasiswa BINUS University Hadirkan Solusi AI untuk Isu Sosial Lewat elevAIte Hackathon
"BINUS berkomitmen menyiapkan talenta digital yang tak hanya piawai inovasi, tetapi juga berintegritas. Orasi ini bagian dari kontribusi akademik BINUS bagi pembangunan ekonomi nasional," tandasnya.
“Orasi ilmiah ini menjadi seruan bagi seluruh ekosistem startup, regulator, dan akademisi untuk bersama-sama memperkuat tata kelola dan mencegah krisis kepercayaan yang dapat menghambat Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045,” ucap Prof. Gatot mengakhiri paparannya.