Anak-anak berkebutuhan khusus seperti penyandang autisme dan cerebral palsy ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Mereka istimewa dengan keunikan yang diberikan oleh Tuhan sama seperti anak umum lainnya yang memiliki kurang dan lebih. Mari dukung serta berikan kepada anak-anak ini ruang untuk berdaya dan berkarya. Sebab, mereka bagian dari kita.

Setiap anak terlahir ke dunia dengan keunikan dan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Jika kondisi mereka yang berbeda, layaknya mereka mendapatkan perlakukan yang adil. Begitu juga dengan anak-anak dengan spektrum autisme dan cerebral palsy, kehadiran mereka harus diterima sebagai individu yang memberi warna dalam kehidupan.

Baca Juga: Ahli Gizi Harvard Ungkap 4 Tips Cara Makan yang Baik untuk Tingkatkan Kesehatan Otak

Pegiat inklusi sosial anak penyandang autisme dan cerebral palsy, RR Nurul Setyawati, menyadari bahwa pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap anak penyandang autisme dan cerebral palsy masih sangat perlu digalakkan. Hal demikian yang pada akhirnya membuat anak-anak tersebut kurang mendapatkan ruang untuk bisa berinteraksi dan berdaya di lingkungan sosial. Padahal, menurutnya, bersama dengan kekurangan yang ada, anak penyandang autisme dan cerebral palsy memiliki kelebihan dan potensi yang sangat besar, bahkan bisa melebihi anak pada umumnya. 

“Masih banyak yang beranggapan bahwa anak-anak penyandang autisme dan cerebral palsy ini, dengan keunikannya, dipandang sebagai anak yang aneh. Padahal, setiap manusia memang berbeda. Rambut bisa beda, perilaku beda, bentuk badan beda. Mereka memiliki kekurangan disatu sisi, tapi punya kelebihan lain aspek tertentu,” ungkap Nurul dalam wawancara eksklusif bersama Olenka di Jakarta, Kamis, 25 April 2024.

Sebagai orang tua dari anak yang berkebutuhan khusus, Nurul merasakan keprihatinan atas kondisi tersebut. Tak hanya bagi anak, penerimaan keberadaan anak penyandang autisme dan cerebral palsy yang tidak optimal juga sangat berpengaruh terhadap mentalitas orang tua.

Nurul bukan satu-satunya orang tua yang diberikan amanah anak berkebutuhan khusus, terutama anak penyandang autisme. Penelitian terbaru dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa satu dari 36 anak di dunia menyandang autisme. Angka tersebut meningkat dari dua tahun lalu, yakni satu dari 44 anak menyandang autisme. Sementara di Indonesia sendiri, data terakhir tahun 2021 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang autisme naik signifikan menjadi 2,4 juta anak. 

Bahkan, Nurul mengaku tidak sedikit menemukan anak penyandang autisme atau cerebral palsy di lingkungan terdekatnya. Misalnya saja, di satu komunitas kecil, Nurul menemui empat orang tua yang ternyata memiliki anak penyandang autis dan cerebal palsy. Sebagai orang tua, mereka mengaku menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam mengasuh anak-anak ini. Mereka membutuhkan budget yang tidak sedikit untuk kebutuhan terapi dan konsultasi tumbuh kembang.

Tantangan tersebut kian berat tatkala orang tua tidak mendapatkan cukup dukungan mental dari lingkungan sekitar, mulai dari keluarga hingga masyarakat yang lebih luas. Alhasil, tak sedikit orang tua yang akhirnya menarik diri dari lingkungan sosial karena kerap mendapatkan penerimaan yang kurang baik atas kondisi sang anak.

“Pandangan-pandangan aneh seperti itu yang membuat kami sebagai orang tua merasa kecil hati dan akhirnya tidak terbuka. Bahkan terkadang malah dari keluarga dekat. Kami harus besar hati dan terbiasa dengan penolakan. Padahal, dalam agama saya, anak-anak ini memegang golden ticket ke surga sehingga seharusnya kalau kita memahami tidak kecil hati” katanya lagi.

Tantangan berikutnya yang dihadapi yakni berkaitan dengan upaya orang tua dalam hal memberikan akses pendidikan bagi sang buah hati. Begitu sulitnya mencari sekolah untuk anak-anak ini. Selain kuota yang terbatas, tidak jarang sekolah inklusi yang menerima anak-anak ini diprotes orang tua karena dianggap mengganggu.

“Kami sering berdiskusi dan masalahnya sama. Mencari sekolah untuk anak seperti anak kami itu susah sekali, terutama untuk anak-anak di level mild. Kalau masuk sekolah umum yang tidak punya special needs care, mereka tidak terbantu juga. Tapi kalau masuk SLB, anak-anak ini potensinya besar menjadi tidak tergali,” lanjut Nurul yang juga berprofesi sebagai Vice Managing Director di salah satu kantor konsultan pajak

Untuk diketahui, mild merupakan derajat autisme yang masih rendah, di mana anak masih bisa belajar, dilatih dan memiliki fleksibilitas meskipun kurang dalam hal atensi. Dalam tingkatan ini, anak-anak membutuhkan pendampingan dari guru selama pembelajaran di sekolah, namun kondisinya tidak seberat kondisi anak-anak yang umumnya belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB).

Penyandang cerebal palsy didapati lebih challenging dalam pencarian sekolah karena sekolah inklusi rata-rata memiliki program untuk anak autism sementara cerebal palsy penanganannya berbeda. 

Mendapati kondisi demikian, Nurul merasa perlu bersinergi  dan mengalokasikan energi serta fokus untuk bagi anak-anak berkebutuhan khusus terutama penyandang autisme dan cerebral palsy karena disabilitas sudah cukup mendapat perhatian.

“Tercetus dari sana, saya yang memiliki anak autis dan sahabat saya yang memiliki anak penyandang cerebral palsy merasa perlu fokus memikirkan masa depan anak-anak seperti ini hingga kelak mereka bekerja, agar mereka lebih bermanfaat. Saat ini, dengan kondisi sekarang kami bertanya-tanya, ‘Anak-anak ini ke depannya akan bagaimana? Kami perlu bersinergi membentuk komunitas dan ekosistem yang kuat,” tegas Nurul.

Nurul melanjutkan, saat ini sedang dalam proses mendirikan yayasan dimana yayasan tersebut tersebut bertujuan bersinergi dengan Yayasan yang sudah ada dimulai dari pendidikannya, perkembangan talentanya hingga mencarikan tempat yang sesuai bagi mereka untuk berkarya. Para orang tua, akan memiliki harapan bagi anak-anaknya bisa benar-benar berkarya seperti masyarakat pada umumnya. 

Selain dukungan melalui yayasan, menurut Nurul ada satu hal yang lebih utama dan paling penting berkaitan dengan anak penyandang autisme dan cerebral palsy atau anak dengan kebutuhan khusus lainnya, yakni acceptance atau penerimaan oleh lingkungan. Dalam hal ini, lingkungan tidak lagi memandang aneh keunikan dari anak-anak ini, seperti halnya melihat perbedaan umumya. Tidak lagi ada penolakan, pandangan yang tidak membuat nyaman karena mereka bagian dari kita juga. Dengan penerimaan, anak-anak dengan kebutuhan khusus akan lebih berkembang karena orang tua mentalnya lebih terjaga dan akan lebih terbuka. 

“Anak-anak ini memiliki hak yang sama dengan anak-anak umum lainnya sehingga apabila anak-anak lain diperhatikan kurikulumnya, anak ini juga perlu diperhatikan supaya berkembang. Mereka butuh dukungan real dari pemerintah dan lingkungan sosial, sama halnya seperti dukungan pemerintah terhadap disabilitas. Jika mereka tidak dikelola, suatu hari pasti akan menjadi beban negara. Mereka adalah bagian tanggung jawab sosial kita. Memang sudah seharusnya kita sama-sama bantu anak-anak ini untuk berkembang dan berkontribusi lebih di lingkungan sosial. Untuk kita juga hasilnya,” tutupnya menegaskan.