Memiliki buah hati, bagi semua ibu di dunia sejatinya adalah kebahagian tersendiri dalam hidup. Tak terkecuali jika sang anak tergolong sosok anak yang ’istimewa’. Hal itu diungkapkan oleh RR Nurul Setyawati, seorang ibu yang diberi amanah merawat dan mengasuh anak berkebutuhan khusus. Melihat tumbuh kembang sang anak yang memiliki kebutuhan khusus, penyangkalan atau penolakan pernah dialaminya.
Nurul yang kini aktif sebagai pegiat inklusi sosial anak penyandang autisme dan cerebral palsy, tak menampik jika dirinya merasa sedih tatkala menerima kenyataan bahwa sang buah hati ‘berbeda’ dari anak biasanya.
Namun, hal pertama yang ia lakukan sebagai orang tua ialah berlapang dada atas kondisi anaknya tersebut. Karena dengan begitu, kata dia, orang tua bisa mengambil sikap dengan tepat dan cepat agar anak dapat segera dapat penanganan dari dokter.
"Perasaan di awal ketika saya tahu ciri-ciri ada (yang berbeda) pada anak saya, tentunya sedih ya, terus langsung ada rasa 'wah harus buru-buru intervensi nih' supaya bisa segera ditangani. Bahkan, saat itu juga saya butuh justifikasi dari ahli bahwa anak saya tidak apa-apa, tetapi memang faktanya iya ada masalah. Sehingga ke depannya itu mau tidak mau adalah bagaimana cara intervensinya?" papar Nurul saat ditemui Olenka di Jakarta, belum lama ini.
Lebih jauh, Nurul menuturkan soal proses dirinya melakukan penerimaan diri (acceptance) atas kondisi anaknya tersebut. Ia mengatakan, menerima kenyataan seperti yang dirasakannya tentunya bukan hal mudah. Namun, seiring waktu dan besarnya rasa sayang ibu kepada anak, kesedihan atas kondisi sang anak pun kandas.
Dikatakan Nurul, rasa kecewa yang mendalam dan berlarut-larut tak akan memberikan efek perkembangan apapun pada anak. Untuk itu, kata dia, optimisme dan sikap positif adalah hal yang penting secara psikologi dalam membangun rasa tanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
"Menerimanya memang tidak mudah, ada juga sedihnya, marah, why me? Tapi sering berjalannya waktu kalau cinta ibu ke anak itu sudah pasti otomatis sih," ujar Nurul.
Nurul melanjutkan, keluarga dari anak berkebutuhan khusus jelas sangat memerlukan support system atau sistem dukungan yang baik dari lingkungannya, baik dari internal keluarga maupun dari orang-orang di sekelilingnya.
Menurutnya, dukungan ini akan sangat bermanfaat bagi keluarga dari anak berkebutuhan khusus seperti dirinya, untuk menjalankan aktivitas sehari-hari serta memberi dorongan semangat dalam menghadapi berbagai tantangan.
"Ketika ada dukungan support dari pasangan, dari keluarga, menurut saya itu sangat berarti. Jadi semuanya ama-sama menerima, sama-sama paham, jika memang ada kekurangan di anak kita," ujar Nurul.
"Lingkungan keluarga juga sama, itu akan lebih mudah gitu. Akan berat buat kita, ibu, atau orang tua kalau sekitarnya itu deny. Atau misalnya sekitarnya itu tidak mendukung," sambung Nurul.
Nurul memaparkan, ketika seorang ibu memiliki anak berkebutuhan khusus, setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan. Bagi Nurul sendiri, ia memulainya dengan belajar dari berbagai literatur untuk mengetahui dan melihat milestone perkembangan anaknya, dan sesegera mungkin membawa sang anak ke ahli autistik.
"Ketika anak itu dipanggil tidak menengok, tidak respons, tidak mau tatap mata, itu langsung saja bawa ke ahli. Itu kita intervensi langsung. Ada beberapa ahli autistik dan mungkin ahli kebutuhan khusus lainnya yang bisa kita datangi. Dari situ kita akan mendapatkan serial interview, kemudian serial assessment yang nanti akan tegak nih diagnosanya, anak ini kenapa, butuh apa, sehingga intervensinya akan lebih baik ketika kita lebih awal maka kita akan lebih cepat tangani," jelas Nurul.
Terakhir, Nurul membagikan pesan kepada para orang tua yang diberi anak ‘istimewa’ seperti dirinya, agar tidak tidak terjebak di perasaan sedih dan kecewa berlarut-larut. Sabar dan penerimaan diri memang menjadi kunci utama tiap orang tua untuk mendidik anak-anaknya, terutama mereka yang memang dilahirkan dengan kebutuhan khusus.
Menurut Nurul, anak berkebutuhan khusus tidak boleh dijadikan sebagai momok yang harus ditutupi oleh orang tua, karena mereka dinilai mempunyai kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh anak normal lainnya.
"Kalau saya sih, saya selalu percaya bahwa kita manusia sama. Kita bukan super woman, kita tidak punya kekuatan magis apapun yang bisa senang-senang saja dengan semua keadaan. Jadi pastinya wajar ketika kita sedih, kita marah, kita sepertinya down, depresi gitu, tidak apa-apa. Hanya saja, jangan sampai kita kehilangan keyakinan, artinya kita hidup ini kan memang untuk diuji," terang Nurul.
Nurul percaya, sejatinya anak-anak di mata Tuhan, apapun agamanya itu adalah anak yang istimewa. Dia juga berkeyakinan, anak-anak adalah pemegang kartu utama atau akses masuk surga. Jadi, alih-alih kita terus bersedih atas takdir yang diterima, ada satu langkah yang diperlukan dan itu adalah penerimaan yang luar biasa tulus dan ikhlas bagi orang tua dalam menghadapi anaknya yang lahir dengan kebutuhan khusus tersebut.
Kesabaran, kesungguhan, dan penerimaan diri yang baik, kata Nurul, serta kerja sama kedua orang tua yang saling mendukung terbukti memberikan hasil yang baik dan bermakna bagi perkembangan anak dengan kebutuhan khusus.
"Jadi kalau misalnya mereka adalah anak-anak istimewa di mata Tuhan, mereka itu kenapa istimewa? Karena mereka itu diuji gitu, dengan keterbatasan mereka, mereka itu merasakan ujian yang sangat berat ketimbang kita anak-anak yang mungkin regular ya. Nah ketika kita dititipi (anak) seperti itu, berarti sebenarnya kita juga cukup spesial di mata Tuhan ya. Jadi alangkah baiknya mungkin kita lebih melihat ke arah situ, ketimbang kita fokus pada dunia yang kita kejar gak kelar-kelar," pungkas Nurul.
Baca Juga: Pegiat Sosial-Ekologi Sorot Minimnya Peran Pemerintah dalam Penanggulangan Sampah Plastik