Sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, era Reformasi membawa angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Media yang sebelumnya dibungkam dan dikontrol ketat oleh pemerintah, kini menikmati ruang lebih luas untuk menyampaikan informasi dan kritik secara bebas. 

Kebebasan pers menjadi salah satu simbol keberhasilan demokratisasi yang terjadi pasca reformasi. Namun, meski telah mencatat berbagai kemajuan, kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, seperti ancaman kekerasan, kriminalisasi jurnalis, serta intervensi politik yang berpotensi merusak esensi demokrasi.

Nasib demokrasi dan kebebasan pers di era kepemimpinan Prabowo Subianto menjadi isu penting yang diperdebatkan, terutama mengingat latar belakang dan rekam jejaknya sebagai seorang tokoh militer dan politisi. Kekhawatiran muncul terkait bagaimana visi dan kebijakan yang mungkin diambil oleh Prabowo dapat berdampak pada dua elemen fundamental dalam sistem demokrasi: kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.

Baca Juga: Disrupsi Digital Guncangkan Media Massa, Uni Lubis: Semoga Perpres Publisher Rights Bikin Media Survive

“Saya pernah menjadi seorang jurnalis  dan pemimpin redaksi (pemred) pada masa orde baru, yang pada saat itu seorang Mayor Panggih di dinas penerangan angkatan darat dapat langsung menelepon pemimpin redaksi untuk menyeleksi pemberitaan apa saja yang boleh dan tidak untuk terbitkan, namun di era reformasi pada saat itu seorang jendral masih bisa kita lawan,” ujar Uni Lubis dalam sebuah video yang dikutip Olenka pada Selasa (22/10/2024).

Uni Lubis menggambarkan pengalaman sebagai jurnalis dan pemimpin redaksi di era Orde Baru, di mana pemerintah, melalui militer, secara langsung mengontrol dan membatasi pemberitaan. Mayoritas informasi diseleksi ketat oleh pihak militer sebelum diterbitkan. 

“Saya pernah hidup di era itu dan saya yakin teman-teman saya jurnalis yang pernah hidup di era itu, lebih siap untuk worst skenario,” terangnya. 

Baca Juga: 8 Tokoh Perempuan yang Harumkan Industri Media

Uni Lubis juga menyampaikan bahwa ia  bersama rekan-rekannya sesama jurnalis yang pernah hidup di masa Orde Baru, merasa lebih siap menghadapi skenario terburuk dalam hal pembatasan kebebasan pers. Pengalaman mereka bekerja di bawah tekanan rezim otoriter membuat mereka lebih tangguh dan mampu beradaptasi dengan situasi yang sulit.

Nasib demokrasi dan kebebasan pers di era Prabowo Subianto akan sangat bergantung pada bagaimana ia memimpin negara dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi yang sejati, seperti transparansi, akuntabilitas, dan kebebasan berekspresi. Dengan latar belakang militer yang kuat, ada kekhawatiran bahwa ia bisa menerapkan kebijakan yang lebih represif terhadap kebebasan pers.

Baca Juga: 6 Daftar Konglomerat Ternama Pemilik Bisnis Media, Siapa Saja?

Namun, tantangan zaman modern yang diwarnai oleh teknologi informasi dan harapan masyarakat yang semakin tinggi terhadap demokrasi bisa memaksa Prabowo untuk menyesuaikan pendekatannya dan merangkul kebebasan pers sebagai rangkaian penting dari kepemimpinannya.