Pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini tidak hanya mengubah industri, tetapi juga mengguncang fondasi pendidikan tinggi di seluruh dunia.

Cara mengajar, belajar, hingga melakukan riset mengalami transformasi besar. Isu inilah yang menjadi fokus utama dalam NUS Innovation Forum (NIF) Jakarta 2025, forum perdana NUS yang digelar di Indonesia.

Forum yang diselenggarakan oleh NUS Office of Alumni Relations ini merupakan edisi ketujuh sejak diluncurkan pada 2024, sekaligus menjadi wadah strategis untuk mempererat hubungan National University of Singapore (NUS) dengan komunitas alumninya di berbagai negara.

Mengusung tema “Navigating the Age of AI”, ratusan alumni, pemimpin pemikiran, akademisi, dan pakar industri berkumpul untuk mendiskusikan masa depan pendidikan tinggi di tengah disrupsi teknologi yang kian masif.

Dalam sambutan pembukanya, Presiden NUS, Profesor Tan Eng Chye, menekankan bahwa AI sedang mengubah cara pengetahuan diciptakan, diakses, dan diterapkan. Menurutnya, perubahan ini memaksa universitas untuk kembali mempertanyakan relevansinya di masa depan.

“Saat AI mengubah cara pengetahuan diciptakan, diakses, dan diterapkan, universitas harus menghadapi pertanyaan tentang relevansi mereka, termasuk bentuk, nilai, dan tujuan pendidikan tinggi itu sendiri,” tutur Profesor Tan, dikutip Jumat (5/12/2025).

Forum ini juga menjadi momentum penting bagi universitas dan alumni untuk berbagi strategi, inovasi, dan praktik terbaik dalam menghadapi era AI, sekaligus membuka peluang kolaborasi baru yang berdampak bagi pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia dan Asia Tenggara.

Universitas di Era AI

Salah satu sesi utama yang menyedot perhatian adalah Panel Rektor bertajuk “Peran Universitas dalam AI, Inovasi, dan Pertumbuhan Ekonomi”.

Panel ini menghadirkan empat pemimpin perguruan tinggi ternama, yakni Profesor Hamdi Muluk (Universitas Indonesia), Dr. Danang Sri Hadmoko (Universitas Gadjah Mada/UGM), Profesor Lavi Rizki Zuhal (Institut Teknologi Bandung/ITB), serta Presiden NUS Profesor Tan Eng Chye. Diskusi dimoderatori oleh Profesor Simon Chesterman, NUS Vice Provost (Educational Innovation) sekaligus Dekan NUS College.

Untuk menggambarkan betapa cepatnya lompatan teknologi AI, Profesor Tan menyinggung terobosan DeepMind dalam pemodelan protein yang mampu memprediksi lebih dari 200 juta protein dalam satu proses. Menurutnya, pencapaian itu setara dengan lebih dari satu miliar tahun kerja lulusan PhD jika dilakukan secara manual.

“Ini menunjukkan betapa cepat AI dapat mempercepat penemuan ilmiah, sekaligus menegaskan betapa pentingnya universitas untuk segera beradaptasi,” kata Profesor Tan.

Di internal NUS sendiri, dalam dua tahun terakhir telah direkrut 134 anggota fakultas baru, termasuk 27 spesialis AI dan 53 peneliti lintas disiplin yang mengintegrasikan AI ke dalam riset mereka. Namun, di balik peluang besar tersebut, ia juga mengingatkan adanya risiko tersembunyi dalam dunia akademik.

“Mahasiswa kini bisa tergoda menggunakan AI untuk menghindari proses berpikir. Ada empat risiko yang perlu diwaspadai: cognitive offloading, never-skilling, mis-skilling, dan de-skilling. Belajar harus tetap menantang. AI tidak bisa menggantikan proses berpikir,” tegasnya.

Kurikulum Harus Berubah, Dosen Tak Bisa Lagi Menolak AI

Dari Indonesia, para rektor sepakat bahwa AI bukan sekadar perubahan teknologi, melainkan juga perubahan cara pandang dalam pendidikan.

Profesor Lavi Rizki Zuhal menegaskan bahwa tren AI menuntut perombakan besar dalam desain kurikulum. ITB, kata dia, telah melakukan berbagai pembaruan untuk mempersiapkan mahasiswa agar mampu bekerja berdampingan dengan sistem cerdas.

“Kita tidak bisa terus mengajar seperti cara kita dulu diajar. Masih ada dosen yang menolak AI karena merasa kemampuan berpikirnya masih cukup. Tapi faktanya, mahasiswa sudah menggunakan AI. Maka pendidiklah yang justru harus mengejar ketertinggalan,” ungkapnya.

Sementara itu, Dr. Danang Sri Hadmoko dari UGM menyoroti pentingnya riset terapan lintas disiplin, khususnya pada titik temu antara teknologi dan perilaku manusia. UGM mendorong kolaborasi ilmuwan komputer dengan pakar psikologi, teknik, kedokteran, farmasi, hingga ilmu sosial agar pengembangan AI tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga berakar pada kebutuhan sosial.

Ia juga menggarisbawahi mahalnya biaya riset AI. Biaya komputasi cloud, menurutnya, bahkan dapat melampaui anggaran operasional tahunan beberapa fakultas.

“Sangat sedikit universitas di kawasan yang mampu melakukan pemodelan AI skala besar secara mandiri. Karena itu, kolaborasi multi-pihak bukan lagi pilihan, melainkan keharusan,” tegasnya.

Menurut Dr. Danang, Indonesia dan Asia Tenggara membutuhkan infrastruktur superkomputer bersama, klaster riset kolaboratif, serta pusat inovasi yang didukung industri agar tidak tertinggal dalam kompetisi global.

Baca Juga: Era Kecerdasan Buatan, Ini 3 Langkah yang Harus Diambil Pemimpin Bisnis Sekarang