Sejumlah Kritik terhadap Proyek Food Estate

Pasca dicanangkannya 4 tahun lalu, lumbung pangan atau food estate sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) malah terus menuai polemik. Proyek ini juga dinilai beberapa pihak bermasalah. Seperti gagal panen, perambahan hutan dan tanah masyarakat adat, hingga berujung bencana alam serta konflik sosial.

Proyek cetak sawah ini sendiri ditargetkan dapat terealisasi dalam tiga tahun. Namun, pelaksanaan proyek ini pun menuai kritikan dari berbagai pihak, salah satunya dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) karena dinilai merusak lingkungan setempat.

PUSAKA sendiri mencatat, lokasi proyek ini berada pada kawasan hutan adat dan terdapat lokasi dengan nilai konservasi tinggi. Perwakilan pemilik tanah di Distrik Ilwayab, Marga Gebze Moyuend dan Gebze Dinaulik, menyatakan, tanah mereka telah telah digusur.

“Proyek ini melanggar hak hidup, hak masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, serta prinsip Free Prior Informed Consent,” kata Franky Samperante, Direktur PUSAKA, dikutip dari laman VOA Indonesia.

Tak hanya itu, PUSAKA juga menduga, proyek dan pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan ini belum memiliki dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan.

Senada, WALHI pun menilai, rencana proyek lumbung pangan di Papua yang akan ditanam tebu sebagai siasat untuk membabat hutan demi menjual kayu. Hal ini dikarenakan tidak ada garansi bahwa pembangunan proyek food estate dibuat tanpa proses penggundulan hutan.

"Di Papua sebenarnya beberapa tahun lalu, teman-teman Walhi Papua melihat, mencurigai, menduga praktik pembangunan food estate di Papua sebenarnya bukan untuk membangun pangan, tapi hanya untuk mengambil sumber daya kayunya saja. Jadi ada praktik pencurian kayu yang terlegitimasi melalui rencana program food estate,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Uli Arta Siagian, sebagaimana dikutip dari Kumparan.

WALHI juga menilai, salah satu faktor yang membuat selama ini food estate gagal salah satunya adalah karena tidak melibatkan masyarakat atau petani lokal untuk menggarap lahan. Menurut Uli, pemerintah tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk garap proyek ini.

Kemudian, terkait pembukaan sawah-sawah baru, juga mendapat sorotan dari  Prof. Dr. Charlie D Heatubun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat dan juga Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua. Menurutnya, pembukaan sawah-sawah baru ini dilakukan tanpa kajian memadai.

“Ini kontra produktif dengan kondisi agroekologi dan budaya masyarakat,”kata Heatubun dalam buku berjudul Sagu Papua untuk Dunia pada 2023.

Baca Juga: Rompi Putra Mulyono: Komunikasi Politik Self Deprecating Humor untuk Menggaet Simpati

Prof. Dr. Heatubun juga menekankan, ekosistem di tanah Papua tidak cocok untuk sawah, sehingga butuh input pupuk kimia yang banyak.

“Budidaya padi tidak akan mudah dilakukan oleh orang Papua, sehingga akan menambah ketergantungan,”katanya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti, pun turut menyesalkan proyek food estate yang kerapkali menjadi agenda pemerintah di setiap periode kepemimpinan presiden terpilih.

Padahal, kata dia, proyek ini tidak pernah memecahkan persoalan fundamental pangan di negeri ini. Selain itu, proyek tersebut lebih menitikberatkan pada bobot kepentingan sisi ekonomi dibandingkan dengan penyelesaian masalah pangan.

Berbeda, Uskup Agung Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Uskup Agung Mgr. Petrus Canisius Mandagi, justru mendukung upaya cetak sawah yang akan dilakukan pemerintah pada tahun 2025 mendatang.

Menurut dia, proyek tersebut merupakan proyek kemanusiaan bagi masyarakat papua yang selama ini memiliki tanah subur namun belum dikelola secara baik.

"Saya dukung program ini 100 persen karena disitu ada tujuan memanusiakan orang dengan pertanian. Maka kami dari gereja-gereja juga punya tujuan yang sama yaitu memanusiakan orang, bukan mengkotak-kotakan orang," ujar Uskup Agung Mandagi, dikutip dari laman pertanian.go.id.

Uskup Agung Mandagi juga meminta agar pemerintah secara masif melakukan sosialisasi dan pendekatan kemanusiaan. Jangan sampai, kata dia, program yang sudah bagus ini malah diprovokasi oleh segelintir orang yang tidak paham akan pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa sesuai pancasila yang diwariskan para pendahulu untuk memberi keadilan pada masyarakat papua.

Baca Juga: Jokowi Pamitan ke Masyarakat Pontianak, Erick dan Bahlil Kompak Bersedih