Makanan dan minuman berpemanis dengan kadar gula tinggi berisiko memicu berbagai jenis penyakit hingga menyebabkan kematian.
Kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, sore itu tetap ramai meski sehabis diguyur hujan. Zidan, salah satu warga Kota Jakarta, tampak sibuk memperhatikan layar ponsel. Ia sedang menanti kehadiran seorang teman. Tak jauh dari tempatnya duduk, beberapa kelompok anak muda memenuhi sudut-sudut kawasan GBK sambil berolahraga sore.
Pria yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan (nakes) di salah satu rumah sakit di Jakarta ini mengatakan, dirinya cukup sadar akan pentingnya menerapkan gaya hidup sehat. Dia mengaku telah menerapkan disiplin minum air putih sejak kuliah guna menghindari dehidrasi.
Ia memahami, kekurangan asupan air atau dehidrasi dapat mengganggu kesehatan karena mengurangi kadar oksigen dalam tubuh. Ditambah dengan minuman manis, masyarakat akan lebih mudah mengidap berbagai penyakit, seperti diabetes dan sakit ginjal.
"Dehidrasi itu sangat berbahaya. Apalagi, di perkotaan seperti Jakarta yang iklimnya tropis, mudah berkeringat," katanya kepada tim Olenka di Senayan, Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Lelaki berkacamata itu mengatakan, dirinya pernah menderita penyakit asam lambung (gastroesophageal reflux disease/GERD) karena terlalu banyak minum kopi. Hal itu terjadi saat dirinya masih menempuh pendidikan dan harus belajar sampai larut malam. Kala itu ia mengonsumsi kopi secara berlebihan agar tidak mengantuk.
"Sampai makan pun tidak ada rasanya," ujarnya.
Zidan menambahkan, konsumsi minuman manis berlebihan telah merenggut nyawa salah satu kerabat dekat. Ia mengisahkan, kerabatnya tersebut mengidap penyakit diabetes tipe 3, yakni sebuah kondisi yang sudah sulit untuk disembuhkan.
Ia menyayangkan, peredaran makanan dan minuman berpemanis dengan kadar gula tinggi yang tidak terkendali di masyarakat. Di sisi lain masyarakat juga masih minim edukasi atas bahaya konsumsi makanan dan minuman berkadar gula tinggi.
Hal yang disampaikan Zidan senada dengan sorotan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, yang mengatakan bahwa makanan dan minuman yang beredar di masyarakat saat ini banyak mengandung kadar gula, garam, dan lemak tinggi sehingga dapat mengganggu kesehatan konsumen. Ia menegaskan, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin makanan dan minuman yang beredar di masyarakat telah memenuhi standar kesehatan.
Pengendalian Konsumsi Gula
Tingginya risiko kesehatan akibat konsumsi makanan dan minuman berpemanis dengan kadar gula, garam, dan lemak tinggi terlihat dari peningkatan beban kesehatan penyakit tidak menular di Indonesia, seperti diabetes dan penyakit jantung. Selain itu, konsumsi minuman manis bisa meningkatkan risiko kenaikan berat badan hingga kematian dini.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, penyakit tidak menular (PTM) yang disebabkan oleh konsumsi gula garam lemak (GGL) bertanggung jawab atas 75 persen kematian di Indonesia. Gangguan jantung dan stroke merupakan penyebab kematian tertinggi di Tanah Air.
Tjandra Yoga Aditama mengatakan, pemerintah bisa melakukan beberapa hal untuk melindungi warga dari makanan dan minuman berkadar gula tinggi. Misalnya, pemerintah bisa melakukan reformulasi atau mengatur ulang formula makanan dan minuman kemasan yang dijual ke masyarakat sesuai dengan prinsip dasar kesehatan.
Selain itu, pemerintah bisa menetapkan aturan pencantuman label gizi di kemasan makanan dan minuman termasuk mencakup perincian atas kadar gula, garam, dan lemak. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan informasi yang terang-benderang kepada konsumen agar bisa memilih produk makanan dan minuman yang lebih sehat.
"Label ini harus cukup besar dan mudah terbaca konsumen," katanya sebagaimana dikutip oleh Olenka di Jakarta, Sabtu (7/6/2025).
Terakhir, pemerintah bisa menerapkan cukai bagi produk makanan dan minuman yang memiliki gula, garam, dan lemak dalam kadar tertentu dan memiliki potensi mengganggu kesehatan masyarakat.
Pengendalian gula perlu menjadi prioritas utama pemerintah karena tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia cukup tinggi. Penelitian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) melaporkan tingkat konsumsi minuman berpemanis di Indonesia mencapai 1-6 kali per minggu sehingga berpotensi besar menimbulkan penyakit tidak menular di masyarakat.
Adapun, berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023 diketahui bahwa sebanyak 47,5% masyarakat Indonesia masih mengonsumsi minuman berpemanis lebih dari satu kali sehari. Kemudian 91,3% masyarakat mengaku akses untuk memperoleh makanan dan minuman dengan kadar gula tinggi sangat mudah.
Pemerintah tentu tidak tinggal diam melihat persoalan konsumsi GGL yang mengkhawatirkan tersebut. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Sukadiono, memastikan pengendalian PTM dan konsumsi GGL di Indonesia menjadi fokus utama pemerintah. Ia menegaskan, pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat untuk mengatasi tantangan tersebut
Sukadiono menjelaskan, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan strategis guna mengatasi persoalan konsumsi GGL seperti pengesahan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang mencakup pengendalian faktor risiko PTM dan Agenda Transformasi Kesehatan Nasional 2022 yang menekankan pentingnya pencegahan dan pengendalian PTM secara komprehensif.
"Serta reformulasi kebijakan pangan, termasuk eliminasi lemak trans-buatan, pembatasan natrium, pengaturan kemasan dan pelabelan makanan tinggi GGL," katanya di Jakarta, belum lama ini.
Sukadiono menegaskan, pengendalian konsumsi GGL memerlukan kerja sama lintas sektor. Ia mengatakan Kemenko PMK mendorong implementasi atas regulasi pengendalian konsumsi GGL di tingkat kementerian terkait.
"Kemenko PMK juga melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi dari regulasi atau kebijakan yang sudah diterbitkan atau dilakukan oleh pemerintah pada tahun-tahun sebelumnya," tuturnya.
Upaya Pemerintah
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan guna menjawab tantangan konsumsi GGL.
PP tersebut mencakup berbagai macam aturan dan larangan seperti penentuan batas maksimal kandungan GGL; pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu; aturan pencantuman label gizi dan kandungan GGL pada kemasan; larangan peredaran pangan olahan pada kawasan tertentu; hingga pemberian sanksi apabila terjadi pelanggaran mulai dari peringatan tertulis, denda, penghentian sementara kegiatan produksi, sampai pencabutan izin usaha.
Selain itu, Siti Nadia Tarmizi mengatakan pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah strategis lain guna mencegah penyakit tidak menular di masyarakat. Berbagai langkah strategis tersebut seperti melakukan edukasi gizi seimbang, mendorong promosi pola makan sehat, dan meningkatkan kesadaran masyarakat atas risiko penyakit tidak menular guna mendorong perubahan perilaku sejak dini.
"Kami fokus pada pengurangan konsumsi gula, garam, dan lemak sebagai bagian dari strategi kesehatan masyarakat," tegas Siti.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Asnawi Abdullah, yang mengatakan pemerintah memiliki komitmen kuat dalam mengendalikan berbagai faktor risiko utama PTM.
Asnawi mengatakan, pemerintah memiliki berbagai kebijakan seperti pengendalian produk makanan yang tidak sehat; pembatasan makanan tinggi natrium; mengontrol konsumsi dan peredaran produk-produk makanan dengan kandungan gula yang tinggi serta makanan yang mengandung lemak yang tidak sehat; dan kebijakan pelabelan di kemasan yang lebih jelas dan informatif.
"Kami juga berharap gaya hidup sehat dapat ditanamkan semenjak usia pra-sekolah sehingga menjadi budaya baru dan menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia," pungkasnya.