Filosofi dan Kepemimpinan
Dikutip dari Indonesiana.id, Ojong dikenal sebagai sosok yang pekerja keras, hemat, disiplin, dan welas asih. Ia percaya bahwa kemakmuran perusahaan harus tercermin dari kesejahteraan karyawan.
Saat kondisi perusahaan sulit, ia tetap mempertahankan tunjangan stafnya dan membentuk dana pensiun bagi karyawan.
Sebagai pemimpin redaksi, Ojong sangat peduli terhadap bahasa dan kualitas tulisan. Ia bahkan mengundang akademisi untuk mengoreksi bahasa di redaksi Kompas, menjadikan koran itu acuan nasional dalam penggunaan Bahasa Indonesia yang baik.
Anak Ojong, Sri Mariani Ojong, pun pernah mengatakan bahwa ayahnya dan Jakob Oetama selalu fokus pada cita-cita untuk mencerahkan bangsa melalui produk jurnalistik berkualitas.
Ojong juga bukan hanya jurnalis dan pengusaha, tapi juga pemikir sosial dan pendidik bangsa. Ia ikut mendirikan Universitas Tarumanagara, aktif di berbagai organisasi seperti Partai Katolik, Yayasan Indonesia (penerbit majalah Horison), dan Lingkaran Seni Jakarta.
Sebagai penulis, Ojong sangat produktif. Ia menulis ratusan artikel di rubrik Kompasiana dan menerbitkan seri buku sejarah Perang Dunia II yang hingga kini menjadi referensi penting bagi pembaca Indonesia.
Sumbangsih P.K. Ojong di Berbagai Bidang
Sumbangsih P.K. Ojong terhadap bangsa tidak hanya tercermin dari kiprahnya di dunia jurnalisme, tetapi juga meluas ke berbagai bidang kehidupan. Sebelum dikenal sebagai wartawan, ia lebih dulu menapaki jalan sebagai seorang guru.
Lulusan Sekolah Guru Negeri Jatinegara tahun 1940 ini mengajar di SD Katolik Mangga Besar, Jakarta, dan dikenal sebagai pendidik yang disiplin serta berdedikasi. Kepeduliannya pada dunia pendidikan tidak berhenti di ruang kelas.Ia aktif dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya dan bahkan menjadi pencetus nama Universitas Tarumanagara.
Melalui pendirian Toko Buku Gramedia pada tahun 1970, Ojong juga berupaya mempermudah akses masyarakat terhadap bacaan bermutu guna memperluas wawasan bangsa, komitmen yang kemudian diteruskan lewat lahirnya Universitas Multimedia Nusantara (UMN), salah satu wujud nyata visi Kompas Gramedia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kecintaannya pada pendidikan sejalan dengan kepedulian Ojong terhadap keadilan. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia pada 1951, ia menunjukkan bahwa membela kebenaran tidak selalu harus dilakukan di ruang sidang.
Melalui rubrik “Kompasiana” di Harian Kompas, ia menulis kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah dan membela rakyat kecil. Ia juga turut menyokong pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat miskin dan teraniaya. Prinsip kejujuran dan integritas hukum menjadi pegangan dalam setiap langkahnya, baik sebagai wartawan, pemimpin, maupun pribadi.
Dikutip dari laman Gramedia.com, dalam dunia bisnis, Ojong menanamkan nilai-nilai kemanusiaan melalui penerapan prinsip ‘ekonomi humanis’ di Kompas Gramedia, perusahaan yang ia dirikan bersama Jakob Oetama. Bagi Ojong, kesejahteraan karyawan adalah bagian dari kesuksesan perusahaan.
Ia tegas memisahkan urusan redaksi dan bisnis, namun tetap dikenal akrab dengan semua karyawan tanpa memandang jabatan. Warisan nilai-nilai inilah yang hingga kini menjadi roh budaya kerja Kompas Gramedia.
Kecintaannya terhadap seni dan budaya pun tak kalah besar. Ia dikenal gemar membeli karya pelukis lokal sebagai bentuk dukungan agar para seniman Indonesia dapat terus berkarya. Selain itu, Ojong juga mengoleksi keramik tua dan martavan Tiongkok.
Salah satu peninggalan yang paling berharga adalah ‘rumah kudus’, bangunan tradisional Jawa Tengah yang ia pindahkan ke Palmerah Selatan. Kini, rumah itu menjadi bagian dari Bentara Budaya Jakarta, ruang yang mewadahi pameran seni, pertunjukan, dan diskusi kebudayaan.
Di bidang lingkungan, Ojong dikenal sebagai sosok yang mencintai tanaman dan menjadi pelopor penghijauan Jakarta. Sejak tahun 1952, ia telah mencanangkan gerakan menanam pohon di ibu kota dan aktif berdiskusi dengan Gubernur Ali Sadikin mengenai pelestarian ruang hijau. Melalui tulisannya di rubrik Kompasiana, ia menanamkan kesadaran ekologis jauh sebelum isu lingkungan menjadi perhatian publik.
Akhir Hayat dan Warisan Abadi
Menjelang akhir hayat, Ojong masih aktif menulis. Tulisan terakhirnya, “Berakhir Pekan di Australia”, dimuat di Intisari edisi April 1980.
Sebulan kemudian, pada 31 Mei 1980, Catherine menemukan suaminya telah berpulang dengan buku terbuka di sampingnya.
Untuk mengenang jasanya, patung P.K. Ojong pun dibangun di halaman Bentara Budaya Jakarta, lembaga nirlaba milik Kompas Gramedia yang ia dirikan untuk pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia.
Baca Juga: Mengenang Sosok Kartini Muljadi, Perempuan Visioner di Balik Kerajaan Tempo Scan
 
            
             
         
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                                 
                             
                             
                             
                             
                             
                             
                             
                            