Penikmat rokok di Indonesia pasti tidak asing dengan merek Sampoerna. Perusahaan rokok asal Surabaya, Jawa Timur, ini merupakan salah satu "raja" di industri tembakau Tanah Air. Sosok di balik merek legendaris ini adalah Liem Seeng Tee. Saat ini, saham mayoritas PT HM Sampoerna Tbk telah diakuisisi oleh Philip Morris International Inc., yakni perusahaan tembakau multinasional asal Amerika Serikat (AS) yang menjual produknya di lebih dari 180 negara.

Latar Belakang Keluarga Liem Seeng Tee

Terlihat dari namanya, Liem Seeng Tee merupakan warga China yang merantau ke Indonesia. Sang ayah, Liem Tioe, terpaksa membawa keluarganya merantau akibat kondisi yang kurang menguntungkan di daerah asal mereka, yakni Desa Anxi, Fujian, China. Bersama kakak perempuannya, Liem kecil dibawa ayahnya pada tahun 1898 menuju Indonesia dengan menumpang kapal dagang. Saat itu, Liem Seeng yang lahir di tahun 1893 baru berusia lima (5) tahun. Mereka pergi tanpa sang Ibu yang telah meninggal dunia lebih dulu akibat musim dingin yang hebat.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Sosok Marissa Nasution, ‘Life Update’ Sang Artis di Tengah Fokus Urus Buah Hati

Saat tiba di Singapura, kakak perempuan Liem diadopsi oleh keluarga di sana karena tuntutan ekonomi. Diceritakan, sang ayah tidak mampu membeli tiket kapal tambahan ke Indonesia sehingga merelakan anak perempuannya diadopsi oleh keluarga China di Singapura. Sementara itu, Liem Seeng Tee dan sang ayah melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Sayangnya, akibat terjangkiti wabah kolera dan malaria, Ayah Liem meninggal dunia setelah enam bulan tiba di Kota Pahlawan. Sebelum meninggal, Liem dititipkan kepada keluarga sederhana di Bojonegoro yang mengajarinya ilmu-ilmu dasar dalam berdagang. Liem kemudian memutuskan hidup mandiri usai meninggalkan keluarga angkatnya di usianya 11 tahun.

Kerja Keras Bangun Keluarga dan Bisnis

Di usia belia dan tidak mengenyam pendidikan, Liem memutuskan berjualan makanan kecil dari gerbong ke gerbong di kereta api jurusan Jakarta-Surabaya. Di momen inilah Liem mendapat kesempatan untuk belajar melinting rokok. Hingga pada akhirnya, Liem dipertemukan dengan Siem Tjiang Nio yang dinikahinya pada tahun 1912. Setelah menikah, Liem bekerja sebagai peracik dan pelinting rokok di sebuah pabrik yang terletak di daerah Lamongan.

Menjalani hidup hemat setelah menikah bahkan harus tinggal di rumah bedeng di bawah jembatan daerah Gang Gembong, Surabaya, Liem Seeng Tee berhenti dari pekerjaannya di pabrik rokok setelah enam bulan pertama pernikahan mereka. Dibantu istrinya yang giat berjualan kue di depan rumahnya, mereka mampu menyewa sebuah warung kecil di Jalan Cantian Pojok lewat uang tabungan mereka. Warung ini menjual berbagai kebutuhan pokok.

Berbekal pengalamannya meracik dan melinting rokok, Liem membuat rokok buatannya sendiri dan menjajakannya dari tempat ke tempat dengan sepeda yang ia miliki. Di tahun 1913, dengan mimpi membesarkan bisnisnya, Liem mendirikan perusahaan bernama Handel Maatschappij Liem Seeng Tee. Di kemudian hari, perusahaan tersebut diubah namanya menjadi Handel Maatschappij Sampoerna, serta menjadi PT Hanjaya Mandala Sampoerna/HM. Sampoerna setelah Perang Dunia II. Merek rokok andalan mereka adalah Dji Sam Soe.

Pembangunan jembatan baru serta renovasi jalan di depan tokonya di tahun 1914 membawa dampak positif bagi bisnis usahanya yang makin laris dan besar. Di tengah usahanya membangu bisnis, keluarga ini dikaruniani dua anak laki-laki, Swie Hwa pada tahun 1914 dan Swie Ling pada tahun 1915.

Pantang Meyerah

Bisnis Liem mengalami pukulan usai tempat tinggal mereka terbakar pada tahun 1916. Tidak pantang menyerah, keluarga ini kembali membangun rumah mereka dan kembali berbisnis dalam waktu seminggu kemudian. Kesempatan kedua membangun bisnis rokok mereka terbuka usai Liem mengetahui ada pedagang tembakau yang bangkrut. Liem ditawari harga murah yang harus dibayarnya dalam waktu 24 jam.

Atas bantuan istrinya yang rajin menabung, Liem kembali membangun bisnisnya. Dari sinilah, Liem Seeng Tee dan Tjiang Nio menjalankan bisnis dengan kemitraan yang unik. Suami-istri itu berbagi kendali formal dan hak suara yang sama dalam semua usaha bisnis mereka, sebuah hal yang bertentangan dengan praktik bisnis China pada saat itu.

Setelahnya, Sampoerna mulai berkembang dengan memilliki pabrik sendiri dan ribuan karyawan. Di tahun 1940-an, perusahaan ini sudah memiliki 1.300 karyawan yang bekerja dalam dua sif dengan produksi lebih dari tiga juta batang rokok per minggu. Sayangnya, pendudukan Jepang membuat bisnis Liem terganggu karena dia dibawa untuk menjalani kerja paksa hingga keluarganya lari dalam persembunyian.

Setelah Indonesia merdeka, Liem dan keluarganya kembali membangun Sampoerna lewat merek Dji Sam Soe. Hingga akhirnya, pebisnis andal yang pantang menyerah ini meninggal dunia di tahun 1956 pada usia 63 tahun.