Tema Besar dan Ciri Khas Karya Oka Rusmini

Karya-karya Oka Rusmini dikenal konsisten mengangkat isu perempuan, tubuh, seksualitas, adat, agama, dan sistem kasta.

Dikutip dari Wikipedia, tradisi dan agama sering kali digambarkan sebagai beban struktural yang harus dipikul perempuan Bali. Pendekatan feminis Oka kerap memicu kontroversi, terutama karena ia berani membicarakan hal-hal yang dianggap tabu.

Sementara itu, dikutip dari The Jakarta Post, benang merah dalam hampir seluruh karyanya adalah kekerasan terhadap perempuan dan tekanan adat Bali.

Novel Tarian Bumi bahkan dianggap sebagai karya monumental yang kini dijadikan bacaan wajib di sejumlah sekolah di Bali serta menjadi bahan kajian akademik.

Karya-karya Oka Rusmini

Dikutip dari laman Grasindo, Oka Rusmini dikenal sebagai penulis yang produktif lintas genre, mulai dari puisi, novel, hingga kumpulan cerita pendek. Dalam genre puisi, ia telah menerbitkan sejumlah karya penting seperti Monolog Pohon (1997), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), dan Saiban (2014).

Sementara itu, karya-karya novel dan prosanya meliputi Tarian Bumi (2000), Kenanga (2003), Tempurung (2010), serta dua novel yang terbit pada 2019, yakni Men Coblong dan Koplak.

Oka Rusmini juga menerbitkan kumpulan cerita pendek, antara lain Sagra (2001) dan Akar Pule (2012), yang semakin menegaskan konsistensinya dalam mengangkat isu perempuan dan realitas sosial budaya Bali.

Salah satu karyanya yang paling berpengaruh, Tarian Bumi, bahkan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, di antaranya bahasa Jerman dengan judul Erdentanz, bahasa Inggris Earth Dance, serta ke dalam bahasa Swedia, Italia, dan Korea, menandai pengakuan internasional terhadap karya dan pemikirannya.

Penghargaan

Dikutip dari laman Wikipedia, sepanjang perjalanan kepenulisannya Oka Rusmini telah meraih berbagai penghargaan bergengsi di tingkat nasional maupun internasional.

Cerpen berjudul Putu Menolong Tuhan dinobatkan sebagai cerpen terbaik Majalah Femina pada 1994, disusul keberhasilan Sagra yang meraih penghargaan cerita bersambung terbaik di majalah yang sama pada 1998.

Karyanya yang lain, cerpen Pemahat Abad, terpilih sebagai cerpen terbaik Majalah Horison untuk periode 1990–2000. Atas kontribusinya di dunia sastra, Oka Rusmini juga menerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa pada 2003 dan kembali memperoleh penghargaan serupa pada 2012.

Pada tahun yang sama, novel Tempurung mengantarkannya meraih SEA Write Award di Bangkok, Thailand, sementara kumpulan puisi Saiban dianugerahi Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2013/2014.

Kemudian, dikutip dari laman Balisaja.com, pencapaian tersebut menempatkan Oka Rusmini sebagai sastrawan Bali ketiga yang berhasil meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, salah satu penghargaan sastra paling prestisius di Indonesia.

Forum Sastra dan Kiprah Internasional

Dikutip dari laman Dapobas Kemdikbud, Oka Rusmini juga aktif mengikuti berbagai forum sastra nasional dan internasional, seperti Mimbar Penyair Abad 21 di TIM, Festival Puisi Internasional di Indonesia, Festival Sastra Winternachten di Belanda, serta menjadi penulis tamu di Universitas Hamburg, Napoli, dan berbagai festival sastra dunia.

Fakta Menarik

Dikutip dari The Jakarta Post, dalam beberapa tahun terakhir Oka Rusmini juga menekuni teks-teks sastra kuno dari berbagai daerah di Indonesia untuk menafsirkan ulang suara perempuan yang terpinggirkan dalam sejarah.

Ia pun memandang sastra sebagai ruang perlawanan sekaligus dokumentasi perubahan sosial.

“Karya saya adalah potret dokumentasi perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling,” ungkapnya, dikutip dari Liputan6com.

Lewat karya-karyanya tersebut, Oka Rusmini terus ‘menari di atas luka’, menjadikan sastra sebagai medium keberanian, kesaksian, dan pembebasan bagi perempuan yang selama ini dibungkam oleh adat dan sejarah.

Baca Juga: Profil Leila S. Chudori, Jurnalis Senior yang Menghidupkan Sejarah Lewat Laut Bercerita