Oka Rusmini adalah salah satu nama penting dalam sastra Indonesia masa kini. Ia dikenal berani dan konsisten mengangkat isu perempuan, adat, dan ketidakadilan sosial dalam bingkai budaya Bali. Selama bertahun-tahun, Oka menekuni dunia tulis-menulis sebagai novelis, penyair, cerpenis, esais, sekaligus jurnalis.
Melalui karya-karyanya, Bali tidak digambarkan sebatas destinasi wisata yang indah layaknya kartu pos. Oka justru menghadirkan Bali sebagai ruang sosial yang rumit, penuh konflik, dan sarat pergulatan batin, terutama yang dialami perempuan.
Lalu, seperti apa sosok Oka Rusmini jika disimak lebih dekat? Dihimpun dari berbagai sumber, Rabu (17/12/2025), berikut ulasan Olenka tentang perjalanan hidup, proses kreatif, dan kiprah salah satu sastrawan perempuan terkemuka dari Bali ini.
Latar Belakang
Perempuan bernama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini ini lahir di Jakarta pada 11 Juli 1967. Dikutip dari laman Dapobas Kemdikbud, ia merupakan anak dari pasangan Ida Ayu Made Werdhi dan Ida Bagus Made Gede. Ayahnya berprofesi sebagai tentara yang kerap bertugas ke luar daerah, sehingga Oka kecil tumbuh dalam situasi keluarga yang dinamis.
Masa kanak-kanaknya juga diwarnai pengalaman personal yang tidak mudah. Kemudian, dikutip dari The Jakarta Post, Oka pernah mengalami polio di usia dini yang membuatnya harus menghentikan pelajaran balet, serta tumbuh dalam keluarga yang kemudian berpisah, sehingga ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya.
Pengalaman hidup yang sunyi dan penuh keterasingan itu menjadi fondasi emosional yang kuat dalam perjalanan kreatifnya. Buku, mesin tik, dan imajinasi menjadi ruang pelarian sekaligus tempat Oka menemukan suaranya sendiri.
Pendidikan dan Pembentukan Minat Sastra
Dikutip dari laman Dapobas Kemdikbud, pendidikan dasar dan menengah pertama Oka Rusmini dijalaninya di Cijantung, Jakarta. Saat menginjak usia remaja, ia pindah ke Bali dan menetap di Denpasar. Di sanalah ketertarikannya pada sastra mulai tumbuh.
Dikutip dari Indosastra.com, sejak duduk di bangku SMP, Oka aktif mengikuti kegiatan Sanggar Cipta Budaya di bawah bimbingan penyair GM Sukawidana.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Oka melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Udayana, mengambil Jurusan Sastra Indonesia.
Lingkungan akademik dan kebudayaan Bali semakin mengasah kepekaannya terhadap isu tradisi, kasta, dan posisi perempuan dalam masyarakat adat.
Kehidupan Pribadi dan Karier Jurnalistik
Masih dikutip dari laman Dapobas Kemdikbud, Oka Rusmini menikah dengan penyair Arief B. Prasetya. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Pasha Renaisan. Hingga kini, Oka Rusmini menetap di Denpasar, Bali.
Dikutip dari The Jakarta Post, sejak tahun 1990-an, Oka berkiprah sebagai wartawan di harian Bali Post. Diketahui, Oka telah bekerja sebagai jurnalis dan editor di media tersebut sejak 1990.
Profesi jurnalistik memberinya akses luas untuk bertemu dan mendengar langsung kisah-kisah perempuan Bali dari berbagai lapisan social, pengalaman yang kelak menjadi bahan baku penting dalam karya-karya sastranya.
Perjalanan Menjadi Penulis
Perjalanan kepenulisan Oka Rusmini dimulai dari puisi dan cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Buku puisinya yang pertama, Monolog Pohon, terbit pada 1997. Namun, namanya mulai dikenal luas setelah terbitnya novel Tarian Bumi pada tahun 2000.
Dikutip dari Detik Pop, novel ini menjadi karya debutnya dalam bentuk novel dan segera menarik perhatian karena keberaniannya membongkar diskriminasi kasta dan penindasan terhadap perempuan Bali.
Oka menegaskan bahwa karyanya bukan autobiografi.
“Ketika buku saya beredar, banyak yang bilang oh ini kehidupan Oka Rusmin. Dalam novel Tarian Bumi dan Tempurung saya tidak ada di dalamnya,” paparnya, dikutip dari Detik Pop.
Ia justru menempatkan dirinya sebagai pencatat dan penafsir realitas sosial di sekelilingnya.
Baca Juga: Mengenal Ratih Kumala, Penulis Perempuan di Balik Kesuksesan Novel Gadis Kretek yang Mendunia
Tema Besar dan Ciri Khas Karya Oka Rusmini
Karya-karya Oka Rusmini dikenal konsisten mengangkat isu perempuan, tubuh, seksualitas, adat, agama, dan sistem kasta.
Dikutip dari Wikipedia, tradisi dan agama sering kali digambarkan sebagai beban struktural yang harus dipikul perempuan Bali. Pendekatan feminis Oka kerap memicu kontroversi, terutama karena ia berani membicarakan hal-hal yang dianggap tabu.
Sementara itu, dikutip dari The Jakarta Post, benang merah dalam hampir seluruh karyanya adalah kekerasan terhadap perempuan dan tekanan adat Bali.
Novel Tarian Bumi bahkan dianggap sebagai karya monumental yang kini dijadikan bacaan wajib di sejumlah sekolah di Bali serta menjadi bahan kajian akademik.
Karya-karya Oka Rusmini
Dikutip dari laman Grasindo, Oka Rusmini dikenal sebagai penulis yang produktif lintas genre, mulai dari puisi, novel, hingga kumpulan cerita pendek. Dalam genre puisi, ia telah menerbitkan sejumlah karya penting seperti Monolog Pohon (1997), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), dan Saiban (2014).
Sementara itu, karya-karya novel dan prosanya meliputi Tarian Bumi (2000), Kenanga (2003), Tempurung (2010), serta dua novel yang terbit pada 2019, yakni Men Coblong dan Koplak.
Oka Rusmini juga menerbitkan kumpulan cerita pendek, antara lain Sagra (2001) dan Akar Pule (2012), yang semakin menegaskan konsistensinya dalam mengangkat isu perempuan dan realitas sosial budaya Bali.
Salah satu karyanya yang paling berpengaruh, Tarian Bumi, bahkan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, di antaranya bahasa Jerman dengan judul Erdentanz, bahasa Inggris Earth Dance, serta ke dalam bahasa Swedia, Italia, dan Korea, menandai pengakuan internasional terhadap karya dan pemikirannya.
Penghargaan
Dikutip dari laman Wikipedia, sepanjang perjalanan kepenulisannya Oka Rusmini telah meraih berbagai penghargaan bergengsi di tingkat nasional maupun internasional.
Cerpen berjudul Putu Menolong Tuhan dinobatkan sebagai cerpen terbaik Majalah Femina pada 1994, disusul keberhasilan Sagra yang meraih penghargaan cerita bersambung terbaik di majalah yang sama pada 1998.
Karyanya yang lain, cerpen Pemahat Abad, terpilih sebagai cerpen terbaik Majalah Horison untuk periode 1990–2000. Atas kontribusinya di dunia sastra, Oka Rusmini juga menerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa pada 2003 dan kembali memperoleh penghargaan serupa pada 2012.
Pada tahun yang sama, novel Tempurung mengantarkannya meraih SEA Write Award di Bangkok, Thailand, sementara kumpulan puisi Saiban dianugerahi Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2013/2014.
Kemudian, dikutip dari laman Balisaja.com, pencapaian tersebut menempatkan Oka Rusmini sebagai sastrawan Bali ketiga yang berhasil meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, salah satu penghargaan sastra paling prestisius di Indonesia.
Forum Sastra dan Kiprah Internasional
Dikutip dari laman Dapobas Kemdikbud, Oka Rusmini juga aktif mengikuti berbagai forum sastra nasional dan internasional, seperti Mimbar Penyair Abad 21 di TIM, Festival Puisi Internasional di Indonesia, Festival Sastra Winternachten di Belanda, serta menjadi penulis tamu di Universitas Hamburg, Napoli, dan berbagai festival sastra dunia.
Fakta Menarik
Dikutip dari The Jakarta Post, dalam beberapa tahun terakhir Oka Rusmini juga menekuni teks-teks sastra kuno dari berbagai daerah di Indonesia untuk menafsirkan ulang suara perempuan yang terpinggirkan dalam sejarah.
Ia pun memandang sastra sebagai ruang perlawanan sekaligus dokumentasi perubahan sosial.
“Karya saya adalah potret dokumentasi perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling,” ungkapnya, dikutip dari Liputan6com.
Lewat karya-karyanya tersebut, Oka Rusmini terus ‘menari di atas luka’, menjadikan sastra sebagai medium keberanian, kesaksian, dan pembebasan bagi perempuan yang selama ini dibungkam oleh adat dan sejarah.
Baca Juga: Profil Leila S. Chudori, Jurnalis Senior yang Menghidupkan Sejarah Lewat Laut Bercerita