Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno pasang badan setelah strategi diplomasi yang ditempuh pemerintah untuk merundingkan tarif Trump dikritik berbagai pihak.
Menurutnya, upaya negosiasi terkait tarif impor 32 persen yang dikenakan terhadap Indonesia sudah pas. Pasalnya kenaikan tarif impor itu bukan disebabkan oleh refleksi hubungan bilateral kedua negara, melainkan bagian dari gelombang proteksionisme global pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Baca Juga: Indonesia Dihajar Tarif Trump, Airlangga Dkk Sibuk Buka Jalur Diplomasi
"Karena itu, strategi Presiden Prabowo menjadi relevan, yakni dengan menghindari eskalasi, menjaga hubungan diplomatik, dan di sisi lainnya fokus pada penguatan struktur ekonomi dalam negeri," kata Eddy di Jakarta dilansir Jumat (11/7/20225).
Eddy mengatakan, langkah pemerintah Indonesia yang tak mengambil sikap reaktif terhadap tarif Trump sudah tepat. Menurutnya jika Indonesia membalas kebijakan AS dengan tarif (retaliatory) maka hal itu dapat memantik konflik dagang yang kontraproduktif.
"Langkah diplomasi Presiden Prabowo tetap pada koridor multilateralisme, menggalang dukungan dari negara-negara berkembang, memperkuat posisi di WTO, dan menjalin solidaritas dengan negara-negara BRICS dalam mewujudkan kebijakan ekonomi global yang lebih adil," katanya.
Sukar Bernegosiasi dengan Trump
Sementara itu Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai proses negosiasi yang tengah dilakukan pemerintah Indonesia sekarang ini bisa menemui jalan buntu.
Menurut Eko, bernegosiasi dengan Trump bukan perkara muda, ia adalah orang yang sukar ditebak dan kerap membuat keputusan yang berubah-ubah, jadi menurutnya selama keputusan masih di tangan Trump, hasil negosiasi bisa berubah drastis.
“Inilah tantangannya saat berhadapan dengan Trump. Meskipun sudah ada kesepakatan, perubahan bisa terjadi kapan saja. Ini menyulitkan Indonesia, terutama bagi dunia usaha, karena tidak ada kepastian regulasi,” kata Eko.
Kendati menjadi salah satu mitra dagang terbesar AS, namun Indonesia sendiri tak lolos dari tarif Trump. Menurut Eko kebijakan Trump yang dikenakan ke Indonesia berpotensi berubah ke angka yang lebih tinggi lagi jika AS gagal memangkas defisit.
“Kalau defisit perdagangan AS belum berkurang, ada kemungkinan tarif akan ditambah lagi. Mudah-mudahan tidak terjadi,” ujarnya.
Lebih jauh, Eko menjelaskan bahwa beban terbesar dari kebijakan tarif ini justru ditanggung oleh konsumen di AS sendiri. Ia melihat adanya potensi tekanan dari masyarakat AS terhadap pemerintah karena tarif yang dikenakan berbeda-beda pada tiap negara dan cenderung tinggi.
“Bisa saja nantinya warga AS mulai menolak kebijakan ini karena merasa dirugikan. Tiap negara dikenai tarif berbeda-beda, dan semuanya tinggi,” tambahnya.
Oleh karena itu, Eko memprediksi bahwa ke depan akan ada dorongan untuk menyamakan tarif antarnegara. Ia memperkirakan adanya potensi penetapan tarif rata-rata yang lebih seragam, khususnya bagi negara berkembang.
Baca Juga: Trump Ancam Kenakan Tambahan Tarif Impor, Mensesneg: Itu Konsekuensi Kita Gabung BRICS
“Mungkin akan muncul konsensus baru. Misalnya, tarif untuk negara berkembang dipukul rata sekian persen, agar tidak timpang antara satu negara dengan yang lain,” ucapnya.
Diplomasi Berlangsung Positif
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kendati Trump telah mengumumkan kebijakan tersebut, namun Indonesia masih punya waktu menegosiasikan tarif tersebut.
Saat ini kata Airlangga pemerintah Indonesia terus berupaya melakukan tawar menawar lewat jalur diplomasi, ia mengeklaim jalur diplomasi yang saat ini sedang berlangsung menunjukan tanda-tanda positif.
Meski begitu, Airlangga masih enggan membeberkan secara terperinci hasil sementara perundingan kedua negara, dia meminta masyarakat sabar menunggu hasil negosiasi yang tengah diupayakan pemerintah.
“Tunggu tanggal 1 Agustus 2025. Pertemuan berjalan baik dan positif,” ujar Airlangga Hartarto melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Kamis (10/7/2025).
Airlangga Hartarto memimpin langsung delegasi Indonesia dalam rangka negosiasi dengan otoritas perdagangan AS di Washington DC.
Langkah ini diambil sebagai bentuk keberatan atas kebijakan tarif sebesar 32 persen yang dikenakan terhadap sejumlah produk ekspor unggulan asal Indonesia.
Kebijakan yang diberlakukan Trump dipandang berpotensi mengganggu stabilitas perdagangan Indonesia, khususnya sektor ekspor yang tengah menggeliat.
Oleh karena itu, Indonesia memilih merespons dengan pendekatan negosiasi langsung, alih-alih konfrontatif.
Kunjungan Airlangga ke Washington DC tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga ditujukan untuk mendorong tercapainya solusi konkret. Pemerintah berharap dapat menghindari eskalasi konflik dagang yang justru merugikan kedua pihak.