Biaya Produksi dan Risiko Teknis
Kekhawatiran lain datang dari sisi teknis dan biaya. Bahlil mengakui bahwa peningkatan kadar biodiesel berdampak pada kenaikan biaya produksi.
“Kalau B50 itu akan meningkatkan cost. Tapi tidak apa-apa, saya dengan BPDP lagi mencari formulasi supaya harganya tidak naik terlalu banyak,” paparnya.
Peneliti BRIN, Soni Solistia Wirawan, menambahkan bahwa kenaikan kadar biodiesel perlu diimbangi riset lanjutan karena sifat FAME berbeda dengan solar.
“Biodiesel mudah menyerap air dan bisa mengental pada suhu rendah. Ini plus-minus yang harus kita terus reset agar campurannya makin optimal,” katanya, dikutip dari SawitSetara.co.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyoroti persoalan kompatibilitas mesin. “Naik ke B50 itu punya risiko. Jangan sampai nanti engine-nya rusak, sehingga cost keseluruhan malah lebih besar,” ujarnya, dikutip dari Majalah Hortus.
Sahat juga mempertanyakan mengapa pemerintah belum beralih ke teknologi Hydrogenated Vegetable Oil (HVO) yang lebih ramah mesin.
“Produk HVO itu drop-in, bisa langsung digunakan seperti solar tanpa modifikasi. Kenapa tidak itu yang dikembangkan?” tegasnya.
Dampak Ekspor dan Kesejahteraan Petani
Kajian Pranata UI menunjukkan bahwa penerapan B50 memang bisa menghemat devisa impor solar hingga Rp172,35 triliun, tetapi berpotensi menekan ekspor sawit hingga Rp190,5 triliun.
“Ekspor tertekan, surplus neraca perdagangan berkurang, dan stabilitas rupiah bisa terganggu,” papar Surjadi, dikutip dari Warta Ekonomi.
Selain itu, kenaikan tarif pungutan ekspor (PE) untuk mendanai subsidi biodiesel akan memukul petani.
“Kenaikan 1 persen saja bisa menurunkan harga TBS Rp333 per kilogram. Kalau PE naik ke 15,17 persen, TBS bisa turun Rp1.725 per kilogram,” ungkapnya.
Ketua Harian DPP Apkasindo, Gus Dalhari Harahap, meminta agar pemerintah tidak tergesa-gesa.
“Kaji dulu manfaat dan mudaratnya. Evaluasi dulu B40 itu sudah optimal atau belum,” katanya.
Isu Lingkungan
Dari sisi lingkungan, rencana peningkatan B50 dinilai berpotensi menimbulkan dampak baru. Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, mengingatkan bahwa ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan biodiesel bisa mencapai 2,5–3 kali lipat dari kondisi saat ini.
“Swasembada energi memang penting, tapi jika mengorbankan hutan untuk kebun sawit monokultur, itu menjadi kurang tepat,” terang Sartika, dikutip dari Katadata.
Senada, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menilai kebijakan bioenergi justru memperparah emisi.
“Emisi dari pembukaan hutan dan pembakaran sawit akan memperparah krisis iklim. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan ini,” katanya.
Rekomendasi Ahli
Dalam banyak kajian, tingkat pencampuran optimal biodiesel diperkirakan masih berada pada kisaran B35–B40.
“Di kisaran itu, manfaat energi, ekspor, dan stabilitas harga masih seimbang,” jelas Surjadi, dikutip dari laman GAPKI.
Ia pun lantas merekomendasikan penerapan blending rate dinamis, yakni kadar pencampuran biodiesel yang disesuaikan dengan fluktuasi harga solar, CPO, dan TBS, sebagaimana diterapkan di Brasil, Malaysia, dan Thailand.
“Penerapan B50 harus adaptif dan berbasis data ilmiah agar mendukung kemandirian energi tanpa menimbulkan tekanan berlebihan pada ekspor dan petani,” tegas Surjadi.
Baca Juga: Dukung B50, Gapki: Harus Diimbangi dengan Peningkatan Produksi Sawit Nasional