Pemerintah tengah bersiap melangkah lebih jauh dalam program energi terbarukan dengan meningkatkan kadar campuran biodiesel dari B40 menjadi B50 pada semester II tahun depan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan, kebijakan ini menjadi bagian dari langkah strategis menuju kedaulatan energi nasional.

“Atas arahan Bapak Presiden, sudah diputuskan bahwa 2026, insya Allah akan kita dorong ke B50. Dengan demikian, tidak lagi kita melakukan impor solar ke Indonesia,” terang Bahlil dalam Investor Daily Summit 2025, dikutip dari Investor Daily.

B50 sendiri adalah campuran 50 persen bahan bakar nabati (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) berbasis minyak sawit mentah (CPO) dengan 50 persen solar. Program ini merupakan kelanjutan dari perjalanan panjang biodiesel nasional yang dimulai sejak uji coba B2 pada 2006 hingga mencapai B40 pada 2025.

Dijelaskan Bahlil, langkah tersebut juga merupakan implementasi visi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai swasembada energi.

“Dengan B50, 50 persen biodiesel terbuat dari minyak sawit. Begitu kita mencapai B50, insya Allah pada akhir tahun ini atau awal tahun depan, kita akan menghemat USD20 miliar per tahun, kita tidak perlu mengirim uang ini keluar negeri,” tutur Prabowo, dikutip dari SawitIndonesia.com.

Lantas, sejauh mana kelebihan dan kekurangan program B50 ini? Dikutip dari berbagai sumber, Jumat (7/11/2025), berikut rangkuman Olenka selengkapnya.

Manfaat Ekonomi

Pemerintah mencatat, implementasi biodiesel selama lima tahun terakhir telah menghemat devisa negara hingga USD40,71 miliar. Dengan penerapan B50, potensi penghematan tambahan mencapai USD10,84 miliar hanya dalam satu tahun.

Selain menekan impor solar, Bahlil menegaskan bahwa program ini memiliki efek berganda bagi ekonomi nasional.

“Kita maksimalkan potensi sawit dalam negeri, kita perkuat ekonomi petani, dan yang terpenting, kita pastikan ketahanan energi nasional berada di tangan kita sendiri. Ini adalah langkah menuju kemandirian sejati,” katanya.

Kementerian ESDM memperkirakan peningkatan kapasitas produksi FAME dari 15,6 juta kiloliter pada 2025 menjadi 20,1 juta kiloliter pada 2026 akan menciptakan lapangan kerja besar: 2,5 juta orang di perkebunan dan 19 ribu orang di industri pengolahan.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung pun memastikan kesiapan infrastruktur pendukung.

“Kita sudah mau siap untuk masuk di B50 tahun depan. Mudah-mudahan di awal tahun sudah bisa kita tetapkan,” ujarnya, dikutip dari Liputan6.com.

Tantangan Bahan Baku dan Produktivitas Sawit

Meski optimisme tinggi, sejumlah tantangan membayangi. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengingatkan produktivitas sawit nasional masih stagnan.

“Periode 2005–2020 produksi sawit terus menurun, dan dalam tiga tahun terakhir pertumbuhannya bahkan negative,” ungkap Eddy, dikutip dari SawitIndonesia.com.

Eddy menilai, percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi kunci untuk mengamankan pasokan CPO. Tanpa itu, peningkatan bauran biodiesel bisa menekan ekspor dan devisa negara.

“Yang akan dikorbankan pasti ekspor. Kalau ekspor berkurang, siapa yang membiayai B50?,” beber Eddy.

Dari sisi pemerintah, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, tetap optimistis.

“Produksi CPO kita 46 juta ton. Kebutuhan untuk B50 hanya 5,3 juta ton, jadi tidak ada masalah,” terangnya di Jakarta, dikutip dari SawitIndonesia.com.

Namun, peneliti Pranata UI, Dr. Surjadi, memperingatkan bahwa kebutuhan CPO untuk B50 bisa mencapai 59 juta ton per tahun, sementara produksi nasional hanya sekitar 48,2 juta ton.

“Kalau B40 dinaikkan menjadi B50, akan muncul kekurangan bahan baku sekitar 10,8 juta ton,” kata Surjadi, dikutip dari Warta Ekonomi.

Baca Juga: Pemerintah Siap Terapkan B50 pada Awal 2026