Ia menegaskan bahwa pemerintah memahami kebutuhan industri akan material daur ulang, terutama karena tren keberlanjutan global semakin menguat. Namun di sisi lain, pemerintah juga berhati-hati agar impor limbah plastik tidak menimbulkan masalah lingkungan baru.

“Kami merasakan perlu ada upaya meminimalkan shortage bahan baku. Salah satunya lewat diskusi dan konsolidasi data, supaya jelas jenis limbah non B3 plastik mana yang memang masih diperlukan di dalam negeri,” tambahnya.

Menurut Eripson, aturan impor sebenarnya sudah sangat ketat. Ada 12 pos tarif yang diperbolehkan, namun harus melalui pertimbangan teknis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Perindustrian, sebelum Kementerian Perdagangan mengeluarkan izin.

“Importasi limbah non B3 plastik ini sangat ketat. Dari negara asal harus ada laporan pemeriksaan, eksportir wajib memberi pernyataan, dan importir harus produsen yang mengolah sendiri, bukan untuk dijual kembali,” jelasnya.

Lebih jauh, ADUPI berharap hasil kajian terkait kebutuhan bahan baku ini bisa menjadi acuan pemerintah dalam mengambil kebijakan berbasis data.

“Dengan adanya kajian ini, kementerian-kementerian yang mungkin kurang tahu bisa jadi lebih tahu. Sehingga koordinasi lebih baik dan industri daur ulang bisa didukung,” tukas Justin.

Ia pun menegaskan bahwa kebutuhan bahan baku plastik daur ulang tidak hanya untuk produk sehari-hari seperti kantong sampah, tetapi juga untuk industri otomotif, elektronik, pangan, hingga kemasan.

“Masih banyak sekali yang membutuhkan bahan baku plastik. Jadi isu ini bukan sekadar kantong plastik, tapi menyangkut rantai pasok industri yang luas,” tutup Justin.

Baca Juga: Kelola Impor Sampah Plastik: CIPS Tinjau Resmi Implikasi Ekonomi dan Perdagangan Antar Negara