Zainal pun mengungkapkan, di sinilah letak kerumitannya. Karena dilakukan melalui program resmi negara, praktik ini terlihat legal, meski motifnya adalah mengamankan kekuasaan atau mendorong kemenangan politik tertentu. Penguasa bisa menyamar sebagai dermawan, padahal sesungguhnya sedang ‘berinvestasi’ dalam suara.

Dikatakan Zainal, fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara yang menganut sistem presidensial, muncul kekhawatiran serupa, yakni presiden menjelang akhir masa jabatan bisa menyalahgunakan APBN untuk kepentingan politik.

“Itu sebabnya, bahayanya, kekuasaan itu harusnya dibatasi ketika menjelang pemilu. Karena seorang presiden sangat mungkin menggunakan APBN-nya untuk dia, supaya dia bisa re-elected, atau supaya dia bisa menunjuk orang tertentu, lalu kemudian dia biayain orang itu dengan pork barrel,” bebernya.

Dalam konteks global, dikenal istilah lame duck atau ‘bebek pincang. Menurut Zainal, presiden yang akan segera mengakhiri masa jabatannya diberi pembatasan kekuasaan, agar tidak menyalahgunakan anggaran negara untuk urusan politik pribadi atau kelompoknya.

“Di banyak negara dengan sistem presidensil, dikenal istilah lame duck, bebek pincang. Kalau presiden sudah akan masuk masa pemilu, presidennya itu ‘dipincangkan’. Dibuat tidak boleh menggunakan anggaran sebesar-besarnya,” tukas Zainal.

Nah Growthmates, peringatan Zainal Arifin Mochtar seharusnya menjadi refleksi kolektif, bahwa menjaga demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi juga soal mengawasi bagaimana kekuasaan dijalankan dan bagaimana uang rakyat digunakan.

“Pork barrel itu direstui dengan anggaran negara. Kekuasaan biasanya menggunakan itu,” ujarnya dengan nada prihatin.

Baca Juga: Mengenal Sosok Zainal Arifin Mochtar, Intip Sepak Terjang Pakar Hukum Tata Negara dari Kampus Biru