Menjelang pemilu 2024, Indonesia kembali dihadapkan pada praktik politik yang sudah lama dikenal dalam demokrasi modern, namun jarang disorot dengan terang, yakni pork barrel politics.
Di tengah hiruk-pikuk kampanye, janji manis, dan program-program populis, publik kerap tak menyadari bahwa bantuan yang mereka terima bukanlah semata bentuk perhatian pemerintah, melainkan bagian dari strategi penggalangan dukungan politik yang dibungkus program negara.
Zainal Arifin Mochtar, akademisi dan dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, dengan lantang mengingatkan publik soal fenomena ini.
“Kalau Anda lihat kasus pemilu kemarin, 2024, ada gejala peningkatan pork barrel yang luar biasa. Ada peningkatan pork barrel yang luar biasa dibanding pemilu sebelumnya,” ujar Zainal, dalam sebuah video, dikutip Olenka, Jumat (30/5/2025).
Untuk diketahui, istilah pork barrel atau dalam bahasa Indonesia sering disebut ‘gentong babi’, berasal dari praktik politik di Amerika Serikat. Secara harfiah merujuk pada daging babi yang diasinkan dan dibagikan, istilah ini kini digunakan untuk menggambarkan program-program pemerintah yang dibagikan kepada publik menjelang pemilu dengan satu tujuan, yakni menjaga kesetiaan politik.
“Atau orang penguasa itu, lemparin daging babi yang sudah diawetkan, yang sudah diasinkan, itu dilemparkan untuk menjaga kesetiaan rakyat pada dia,” ujar Zainal secara metaforis.
Lebih lanjut, Zainal secara gamblang membedakan antara dua bentuk suap politik. Yang pertama adalah bentuk paling vulgar dan terang-terangan, yaitu uang Rp200 ribu atau Rp300 ribu yang dibagikan secara langsung untuk membeli suara. Bentuk ini disebutnya sebagai ‘fully haram’. Tapi yang lebih berbahaya, menurutnya, adalah praktik pork barrel.
“Yang setengah-setengah haram, yang agak subhat-subhat, itu yang disebut dengan pork barrel,” tegasnya.
Baca Juga: Zainal Arifin: Negara Tidak Bisa Dipercaya Begitu Saja
Zainal pun mengungkapkan, di sinilah letak kerumitannya. Karena dilakukan melalui program resmi negara, praktik ini terlihat legal, meski motifnya adalah mengamankan kekuasaan atau mendorong kemenangan politik tertentu. Penguasa bisa menyamar sebagai dermawan, padahal sesungguhnya sedang ‘berinvestasi’ dalam suara.
Dikatakan Zainal, fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara yang menganut sistem presidensial, muncul kekhawatiran serupa, yakni presiden menjelang akhir masa jabatan bisa menyalahgunakan APBN untuk kepentingan politik.
“Itu sebabnya, bahayanya, kekuasaan itu harusnya dibatasi ketika menjelang pemilu. Karena seorang presiden sangat mungkin menggunakan APBN-nya untuk dia, supaya dia bisa re-elected, atau supaya dia bisa menunjuk orang tertentu, lalu kemudian dia biayain orang itu dengan pork barrel,” bebernya.
Dalam konteks global, dikenal istilah lame duck atau ‘bebek pincang. Menurut Zainal, presiden yang akan segera mengakhiri masa jabatannya diberi pembatasan kekuasaan, agar tidak menyalahgunakan anggaran negara untuk urusan politik pribadi atau kelompoknya.
“Di banyak negara dengan sistem presidensil, dikenal istilah lame duck, bebek pincang. Kalau presiden sudah akan masuk masa pemilu, presidennya itu ‘dipincangkan’. Dibuat tidak boleh menggunakan anggaran sebesar-besarnya,” tukas Zainal.
Nah Growthmates, peringatan Zainal Arifin Mochtar seharusnya menjadi refleksi kolektif, bahwa menjaga demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi juga soal mengawasi bagaimana kekuasaan dijalankan dan bagaimana uang rakyat digunakan.
“Pork barrel itu direstui dengan anggaran negara. Kekuasaan biasanya menggunakan itu,” ujarnya dengan nada prihatin.
Baca Juga: Mengenal Sosok Zainal Arifin Mochtar, Intip Sepak Terjang Pakar Hukum Tata Negara dari Kampus Biru