Zainal Arifin Mochtar, akademisi dan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Menurutnya, kekuasaan memiliki potensi besar untuk disalahgunakan, dan jika tidak dibatasi, dapat mengarah pada otoritarianisme.
Mochtar menjelaskan bahwa kekuasaan itu bersifat berbahaya karena dapat meninabobokan dan melenakan pemegangnya. “Kekuasaan itu berbahaya. Kekuasaan itu meninabobokan. Kekuasaan itu melenakan,” ungkapnya.
Baca Juga: Ridwan Kamil: Menjadi Pemimpin Niatnya Adalah Ibadah Bukan Mencari Kekuasaan
Ia juga mengutip istilah terkenal dari Lord Acton, "Power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely," yang menunjukkan bagaimana kekuasaan yang tidak terkendali dapat merusak seseorang.
Untuk itu, pembicaraan tentang kekuasaan, lanjut Mochtar, harus fokus pada bagaimana cara mengontrol dan membatasi kekuasaan tersebut. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan membatasi tidak hanya jumlah kekuasaan, tetapi juga durasi kekuasaan seseorang.
Baca Juga: 6 Buku Karya George Orwell yang Akan Mengubah Pandangan Anda tentang Politik dan Kekuasaan
“Kekuasaan itu harus dibatasi bukan sekadar jumlah kekuasaannya, tapi jumlah tahun dia berkuasa. Harus dibatasi. Karena jangan terlalu lama. Terlalu lama itu berbahaya,” tambahnya.
Mochtar juga menyebutkan bahwa dalam sistem presidensial, godaan untuk beralih menjadi otoriter sangat tinggi. Ini terjadi ketika pemimpin didukung oleh partai politik yang sangat kuat atau memiliki tingkat popularitas yang tinggi.
Baca Juga: Gerindra: Jangan Harap Kekuasaan Prabowo-Gibran Jadi Pengaman Bagi Mereka yang Berbuat Gelap
“Jika dukungan partai politik terlalu kuat dan popularitasnya terlalu tinggi, itu bisa menggoda seseorang untuk menjadi otoriter,” ujarnya.
Dalam penutup, ia menegaskan bahwa fenomena semacam ini bukan hanya khas Indonesia, tetapi terjadi di banyak negara di seluruh dunia.