Tahun 1998 menjadi tahun kelam dalam perjalanan ekonomi Indonesia. Krisis moneter yang menghantam negeri ini tak hanya melumpuhkan aktivitas bisnis, tetapi juga mengguncang pondasi mental para pelaku ekonomi papan atas. Salah satu nama besar yang turut terseret arus krismon adalah Ciputra, sosok visioner di balik berbagai proyek properti nasional.
Saat itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar melonjak drastis, dari Rp2.000 menjadi hampir Rp17.000. Hal ini rupanya mampu mengubah peta bisnis secara menyeluruh. Di tengah krisis itu, Ciputra Group mengalami dampak perubahan kurs yang membuat beban utang membengkak hingga hampir 1 triliun rupiah. Padahal, proyek-proyek pembangunan masih berjalan dan memerlukan suntikan dana besar.
Tak hanya Ciputra Group, Jaya Group dan Metropolitan Group juga mengalami hal yang sama. Hanya Metropolitan Kentjana yang relatif aman karena tidak memiliki utang besar. Namun secara umum, situasi mengarah pada kehancuran. Banyak proyek berhenti, konsumen menunggu tanpa kepastian, pembeli baru nyaris tidak ada, dan dua bank serta perusahaan asuransi milik Ciputra terpaksa ditutup oleh pemerintah.
Ciputra Jatuh, tapi Tidak Menyerah
Di tengah krisis tersebut, Ciputra tidak tampil sebagai sosok yang kuat. Ia tetap menangis, merasa tertekan, bahkan merasakan sakit fisik akibat tekanan mental yang luar biasa. Ia tidak segan mengakui bahwa dirinya lunglai, dicekam kegelisahan, dan sempat merasa bahwa “kapal telah karam walau belum tenggelam”.
Namun, ia menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan kuasa Tuhan. Sebesar dan sehebat apa pun pencapaian, semua bisa runtuh seketika. Di balik keputusasaan itu, iman menjadi jangkar utama yang menahannya untuk tidak hanyut. Dalam doa, ia memohon kekuatan untuk tetap berdiri, tidak kalah sebelum bertarung.
"Tuhan, jikalau Engkau hendak menguatkan saya dalam ujian ini, beri saya kesempatan berjuang agar bisa terlepas dari belitan kesulitan ini. Jangan biarkan saya menjadi lemah dan kalah. Beri saya kekuatan untuk bangkit,” doa Ciputra saat itu.
Baca Juga: Kisah Ciputra dan Proyek Kecintaannya: Lapangan Golf Pondok Indah
Akhirnya, dengan jujur dan terbuka, Ciputra menyampaikan kondisi perusahaan yang sekarat. Ia mempersilakan siapa pun untuk mundur jika merasa tidak sanggup melanjutkan perjuangan. Tak disangka, para direksi tetap memilih bertahan. Hanya satu yang memutuskan mundur, yaitu Artadinata Djangkar, yang kemudian kembali setelah badai mereda, dan hingga kini masih menjadi bagian dari tim senior di Ciputra Group.
Rapat Bukan Lagi untuk Bertumbuh, tapi Bertahan
Di masa sebelumnya, rapat perusahaan adalah tentang rencana, ekspansi, dan strategi pertumbuhan. Namun saat krisis, rapat menjadi ajang penyelamatan dan membentuk strategi untuk bertahan.
Mereka menunjukkan bahwa didikan yang ditanamkan bertahun-tahun bukanlah hal yang sia-sia. Mereka tidak hanya hadir, tapi juga benar-benar berjuang. Pendekatan terhadap konsumen pun dijalankan dengan penuh empati dan kejujuran.
"Selesaikan masalah ini dengan mengutamakan para konsumen dan orang-orang yang wajib kita bayar. Jangan sekali-sekali lari dari kewajiban. Bayar atau ganti rugi mereka dengan sebaik-baiknya. Jaga integritas kita walau dalam kondisi seberat ini,” ujar Ciputra kepada timnya.
Dari Titik Nol Menuju Pemulihan
Ciputra dan timnya yakin bahwa keteguhan dan integritas menjadi nilai utama dalam menghadapi badai yang bisa menghancurkan siapa pun.
Baca Juga: Kisah Spiritual dan Jejak Iman yang Tersembunyi dalam Hidup Ciputra
Apa yang terjadi pada Ciputra bukan semata kisah tentang krisis ekonomi, tetapi juga potret utuh tentang kemanusiaan, kepemimpinan, dan keimanan yang diuji habis-habisan.
Bagi generasi muda yang hari ini tengah membangun karier, bisnis, dan kehidupan, kisah Ciputra di masa krisis 1998 adalah pengingat penting bahwa kejatuhan bukan akhir, selama kita masih punya keberanian untuk berdiri kembali.