Sejumlah program dan kebijakan dihadirkan Jokowi dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia. Bersama Jusuf Kalla (JK) saat itu, Jokowi fokus pada kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia dengan implementasi variasi program bantuan sosial (bansos). Ada beberapa jenis bantuan sosial, di antaranya, Program Indonesia Pintar (PIP), Program Indonesia Sehat (PIS), Pogram Keluarga Harapan (PKH), Beras Sejahtera (Rastra) atau Bantuan Sosial Pangan, dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang disalurkan melalui kartu, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Selama 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK, alokasi anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk program tersebut berturut-turut ialah sebesar Rp64 triliun di tahun 2015; Rp50,6 triliun di tahun 2016; dan Rp55,3 triliun di tahun 2017. Pada tahun 2018, Jokowi mengalokasikan anggaran sebesar Rp78,2 triliun--meningkat Rp22,9 triliun dari tahun sebelumnya. Namun, jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan periode 2014 yang mencapai Rp97,9 triliun.
Baca Juga: Tegas Wapres Maruf: Bansos untuk Warga Miskin, Bukan yang Lain...
Di periode keduanya, Jokowi bersama Ma’ruf Amin terus menjalankan program bansos guna mengatasi kemiskinan dan mencapai target 0% kemiskinan esktrem. Berdasarkan intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 Tanggal 8 Mei 2008 dan Inpres Nomor 3 Tahun 2020 Tanggal 29 Agustus 2020, tertuang bahwa bentuk penanggulangan kemiskinan khususnya pada Covid-19 adalah dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Pada tahun 2023, dana desa untuk BLT dibatasi minimal 10% dari maksimal dari 25% yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 201/BMK.07/2022 tentang penyaluran dana desa tahun 2023 tanggal 10 Maret 2023. Secara nasional, program penyaluran BLT berjumlah 64,90% atau sekitar Rp133 miliar dengan rincian dana desa regular 41.28% atau senilai Rp28 triliun dan dana BLT desa sebesar 23.62%.
Untuk kemiskinan esktrem, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2024. Lewat inpres tersebut, kemiskinan esktrem harus dihapuskan di seluruh wilayah RI pada tahun 2024 melalui keterpaduan dan sinergi program, serta kerja sama antarkementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Tingkat Pengangguran di Indonesia 2014-2024
Tinggi atau rendahnya tingkat kemiskinan dalam suatu negara dipengaruhi, salah satunya, oleh tingkat pengangguran dalam usia produktif. Pasalnya, orang yang menganggur dianggap tidak mampu mendapatkan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, tidak adanya pemasukan akan berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat yang menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Baca Juga: Mengamati Tren 'Career Cushioning' di Indonesia
Berdasarkan data BPS Februari 2014-2024, berikut tingkat pengangguran di Indonesia:
- 2014: terdapat 7,15 juta orang menganggur dengan tingkat persentase 5,7%;
- 2015: 7,45 juta orang dengan tingkat persentase 5,81%;
- 2016: 7,02 juta orang dengan tingkat persentase 5,5%;
- 2017: 7,01 juta orang dengan tingkat persentase 5,3%;
- 2018: 6,87 juta orang dengan tingkat persentase 5,1%;
- 2019: 6,82 juta orang dengan tingkat persentase 5,01%;
- 2020: 6,88 juta orang dengan tingkat persentase 4,99%;
- 2021: 8,75 juta orang dengan tingkat persentase 6,26%;
- 2022: 8,4 juta orang dengan tingkat persentase 5,83%;
- 2023: 7,9 juta orang dengan tingkat persentase 5,45%;
- 2024: 7,2 juta orang dengan tingkat persentase 4,82%.
Secara umum, dalam periode pertama kepemimpinan Jokowi, tingkat pengangguran dapat diturunkan secara berkala. Dari tingkat pengangguran sebesar 5,7% dari keseluruhan populasi di tahun 2014, terjadi kenaikan tingkat pengangguran di tahun 2015 menjadi 5,81%. Empat tahun selanjutnya, tingkat pengangguran di Indonesia dapat terus ditekan menjadi 5,5% di tahun 2016; 5,3% di tahun 2017; 5,1% di tahun 2018; dan kembali turun menjadi 5,01 % di tahun 2019.
Di Februari tahun 2020, tingkat pengangguran mencapai 4,99%. Dampak pandemi Covid-19 mulai terasa di Februari 2021 yang menyebabkan tingkat pengangguran naik menjadi 6,26%, tertinggi selama pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, hal itu dapat diturunkan menjadi 5,83% di tahun 2022; 5,45% di tahun 2023; dan menjadi 4,82% di tahun 2024.