Usaha tak pernah mengkhianati hasil, ungkapan tersebut pantas untuk menggambarkan perjuangan seorang sopir traktor di sebuah perusahaan konstruksi di Kalimantan pada era 1986. 

Menjadi operator alat berat bukanlah pekerjaan yang diidam-idamkan, maklum ia datang dari keluarga terdidik, ayahnya adalah seorang dosen sedang ibu seorang guru. 

Pekerjaan itu ia ambil di tengah keputusasaan dan frustasi yang memuncak, anak ke empat dari tujuh bersaudara itu merantau ke Kalimantan setelah menerima rentetan penolakan yang menghantamnya berkali-kali tanpa mengenal rasa kasihan.

Baca Juga: Tak Hanya Babah Alun, Ini Daftar Nama Konglomerat yang Turut Membangun Jalan Tol di Indonesia

Laki-laki kerempeng bertubuh jangkung itu adalah  H. Mohammad Jusuf Hamka, ia sudah ditolak lebih dari 100 perusahaan. Surat lamaran pekerjaan yang ia sebar lenyap begitu saja tanpa meninggalkan balasan, mimpi-mimpi manisnya ikut terkubur.

Pengalaman pahit itu menamparnya dengan sangat keras yang pada akhirnya membuat ia sadar bahwa dirinya tak bisa bekerja kantoran di gedung-gedung pencakar langit di Jakarta sebagaimana yang didambakan anak-anak muda ketika itu. 

Tak ada pilihan lain, Jusuf terpaksa jatuh cinta dengan pekerjaan itu, bekerja di pelosok Kalimantan ia diupah 750. 000 setiap bulan, pada era itu, nilai uang segitu bukan angka yang buruk, tetapi nominal itu juga tidak bisa disebut sebagai pendapatan yang tergolong cukup.

Pada 1989 atau sekitar tiga tahun menekuni pekerjaan sebagai operator traktor, Jusuf Hamka mencoba keluar dari zona nyaman. Ia kembali mencari pekerjaan lain. Mimpi dibenamkan setelah dihantam dengan hebatnya oleh gelombang  penolakan di masa lampau diperjuangkan sekali lagi.  

Singkatnya, pada tahun itu Jusuf diterima di PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), ia memulai lembaran baru di sana, tempat ini menjadi titik balik kehidupan Jusuf Hamka.

Di perusahaan ini pula Jusuf Hamka mulai bertumbuh menjadi pebisnis hebat, pria yang tadinya hanyalah seorang operator alat berat kini menjadi aktor penting di balik pembangunan sejumlah jalan tol seperti Tol Cawang - Tanjung Priok, tol Depok - Antasari, Bogor Outer Ring Road, Tol Waru - Juanda, Tol Soreang - Pasirkoja hingga Tol Cileunyi - Sumedang - Dawuan.

Atas berbagai keberhasilannya di perusahaan tersebut, pria yang karib disapa Abah Alun itu kerap dijuluki sebagai raja bisnis jalan tol. Itu tak berlebihan, ia pantas menerima itu. 

Baca Juga: Jatuh Bangun Jusuf Kalla Bangun Kerajaan Bisnis: Rintis 35 Perusahaan, yang Berhasil 25 Persen

Sukses di bisnis jalan tol, laki-laki kelahiran  5 Desember 1957 dengan nama Jauw A Loen atau Alun Joseph itu merambah bisnis lain, mimpi yang digantungkan di masa muda yang mulanya seperti mustahil digapai kini satu persatu ia dibuat menjadi kenyataan. 

Hingga kini, pengusaha berdarah Tionghoa itu tercatat menjabat berbagai posisi mentereng di sejumlah perusahan raksasa, seperti  Komisaris Utama PT Mandari Permai, Komisaris Independen PT Indomobil Sukses Internasional, Komisaris PT Citra Margatama Surabaya, Komisaris PT Indosiar Visual Mandiri, Komisaris PT Mitra Kaltim Resources Indonesia. 

Baca Juga: Pertemuan Prabowo-Mega Mengubah Konstelasi Politik Nasional

Anak  laki-laki yang dulu pontang panting mencari kerja dan  diupah ratusan ribu per bulan itu kini memiliki harta kekayaan yang disinyalir mencapai Rp15 triliun.

Sisi Lain Jusuf Hamka

  • Jusuf dikenal sebagai salah satu publik figur di Indonesia yang mualaf. Ia memeluk Islam saat bertemu dengan Buya Hamka pada usia 23 tahun (tahun 1981). Keputusan Jusuf menjadi mualaf diterima dengan baik oleh keluarganya.
  • Setelah memeluk Islam, Jusuf mengganti namanya dari Jauw A Loen atau Alun Joseph menjadi Mohammad Jusuf Hamka. Nama tersebut diberikan langsung oleh Buya Hamka yang membimbing Jusuf untuk mengucapkan kalimat syahadat.
  • Jusuf Hamka pernah menempuh pendidikan di beberapa perguruan tinggi, namun tidak ada yang dituntaskan sampai selesai. Jusuf Hamka sendiri mengaku bahwa ia tidak suka mengikuti pendidikan formal.
  • Jusuf Hamka terlahir dari keluarga yang sederhana. Dulu, sepulang dari sekolah, Jusuf Hamka tidak ragu untuk berjualan asongan guna mendapatkan uang jajan tambahan.