Menurut Adrianto, setiap generasi pasti membawa pola asuh dan cara berpikir berbeda. Termasuk dirinya yang menurut sang ayah, memiliki karakter risk taker lebih besar.
“Bapak saya selalu bilang saya lebih risk taker dibandingkan beliau. Is that good or bad? I don’t know. Jadi saya belajar melakukan calculated risk, membatasi hal yang bisa jadi kelemahan agar berubah menjadi positif,” jelasnya.
Dalam perjalanan kariernya, lulusan Bentley College, Massachusetts, Amerika Serikat itu menyebut bahwa sosok sang ayah berperan besar sebagai mentor dan coach.
Adrianto mengatakan, pengalaman puluhan tahun yang dimiliki sang ayah menjadi berkah yang membentuk dirinya dalam memimpin dan mengembangkan perusahaan.
“Mentor itu penting. Bapak saya adalah mentor saya, coach saya. Dia punya pengalaman sekian puluh tahun, jatuh bangun perusahaan. Saya pun dididik sama,” ungkap Adrianto.
Menurutnya, salah satu pelajaran terpenting yang ia terima adalah kepercayaan untuk jatuh dan bangun kembali. Dalam banyak kesempatan, sang ayah membiarkannya mengambil keputusan sendiri, bahkan keputusan yang berujung pada kegagalan.
“Saya dikasih kepercayaan untuk jatuh bangun perusahaan. Saya lebih banyak perusahaan yang saya buat bangkrut dibandingkan yang saya buat untung,” kata Adrianto.
Namun, alih-alih menyalahkan, sang ayah selalu menanggapi kegagalan Adrianto dengan satu pertanyaan sederhana tetapi kuat.
“But that’s it. Setiap kali saya gagal, bapak saya cuma bilang ‘What did you learn?’,” tandas Adrianto.
Baca Juga: Mengenal Adrianto Djokosoetono, Generasi Ketiga Pendiri Bluebird Group