Pemerintah bakal menerapkan kebijakan impor Bahan Bakar Minyak (BBM)  satu pintu lewat PT Pertamina (Persero) di tengah krisis BBM yang menghantam  stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang dikelola oleh perusahaan swasta seperti Shell dan BP-AKR. SPBU swasta kekeringan bahan bakar sejak Agustus 2025 lalu dan berlanjut sampai sekarang. 

Untuk menyudahi paceklik bensin di SPBU swasta, pemerintah menginisiasi ide impor untuk memenuhi kebutuhan pasar, hanya saja perusahaan SPBU swasta tidak bisa leluasa melakukannya, untuk itu kegiatan mendatangkan minyak mentah dari luar negeri mesti lewat perusahaan pelat merah yakni PT Pertamina. Secara tidak langsung pemerintah sedang memaksa SPBU swasta berkolaborasi dengan Pertamina jika ingin usia perusahan mereka menjadi lebih panjang.   

Baca Juga: Krisis BBM di SPBU Swasta, Istana Kaji Kebijakan Impor Satu Pintu Lewat Pertamina

Pemerintah sendiri mengeklaim telah menyuntikan tambahan alokasi BBM bagi perusahaan swasta di luar Pertamina sebesar sebesar 100% kuota tahun 2024 ditambah 10% di tahun 2025. Namun pada kenyataanya, swasta tetap dilanda krisis panjang. 

Di sisi lain pemerintah mengeklaim kelangkaan BBM di SPBU swasta lantaran tingginya permintaan pasar yang terjadi sejak bulan Februari lalu. Selain itu, habisnya stok ini disinyalir karena adanya peralihan (shifting) dari BBM subsidi ke non-subsidi. 

"Kalau mau minta lebih, ini kan menyangkut dengan hajat hidup orang banyak. Ini cabang-cabang industri. Kalau mau lebih silakan berkolaborasi dengan Pertamina. Kenapa Pertamina? Pertamina itu representasi negara," kata Menteri.

"Kita kan tidak mau cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini. Semuanya diserahkan kepada teori pasar. Nanti ada apa-apa, gimana? Kita sudah sampai dengan 110%. Kuotanya sudah kita kasih. Jadi, setiap swasta sudah kita kasih 110%. (jika habis) Silakan berkolaborasi dengan Pertamina," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dilansir Olenka.id Jumat (19/9/2025). 

Sekarang ini Kementerian ESDM tengah mendata seluruh kebutuhan SPBU swasta terkait jumlah permintaan BBM. Nantinya, data tersebut akan dicocokan dengan stok yang berada di kilang Pertamina. 

Jika stok tidak bisa memenuhi kebutuhan, impor akan dilakukan oleh PT Pertamina. Soal harga jual dari Pertamina, SPBU swasta dipersilahkan menyodorkan negosiasi. 

"Business-to-Business aja, kita tidak bicara lebih mahal atau lebih murah. Business-to-business kan harus ada keuntungan dari masing-masing badan usaha yang beroperasi,"  kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Laode Sulaeman. 

Dibahas Istana 

Wacana kebijakan impor satu pintu tampaknya bukan sekadar omongan lepas, ini menjadi sebuah kebijakan serius yang saat ini turut dibahas di lingkaran istana. 

Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) M Qodari mengatakan sekarang ini pihaknya tengah mengkaji rencana kebijakan itu seraya mengidentifikasi penyebab kelangkaan BBM tersebut. 

"Mudah-mudahan kita akan membangun suatu mekanisme di mana blind spot-blind spot itu bisa diidentifikasi dari awal, sehingga tidak menjadi pro kontra, kontroversi atau kerugian di kemudian hari, mudah-mudahan," kata Qodari. 

Ia mengatakan terdapat banyak faktor yang menentukan itu, mulai dari masalah sosial yang kompleks, hingga implikasi tertentu yang kurang diinginkan.  Lebih lanjut, Qodari berharap KSP dapat merekomendasikan mekanisme yang lebih adil.

"Kita mau kaji yang mudah-mudahan nanti kajian-kajian dari KSP ini bisa menjadi masukan, bila perlu pembanding," ujarnya.

Pentingnya Perencanaan Logistik 

Wacana impor satu pintu menuai respons beragam dari masyarakat, bahkan ada yang menilai kebijakan itu merupakan salah satu upaya pemerintah memonopoli bisnis BBM lewat Pertamina, namun semua anggapan miring itu buru-buru ditepis. 

Baca Juga: BBM Langka, Shell Indonesia Terpaksa Rumahkan Petugas SPBU

Terlepas dari polemik tersebut, kelangkaan BBM di SPBU swasta sekarang ini menjadi sebuah pelajaran penting bagi Badan Usaha Swasta (BU), kedepannya mereka mesti melakukan perencanan logistik yang lebih matang untuk meminimalkan kejadian seperti ini. 

“Ini harus jadi pelajaran penting bagi industri dalam melakukan perencanaan logistik yang lebih baik. Jangan sebaliknya, hanya sekadar mendesak pemerintah membuka keran impor lebih besar,” kata Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Sekjen HIPMI) Anggawira