Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) telah berlaku usah pemerintah pusat meneken RUU menjadi UU pada Selasa (04/06/2024) lalu.
UU KIA disahkan dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR RI, Puan Maharani. Kebijakan tersebut memberikan hak-hak kepada Ibu bekerja yang sedang hamil, akan melahirkan, sedang masa persalinan, hingga setelah melahirkan, termasuk peraturan hak cuti bagi Ibu yang melahirkan selama 6 bulan.
UU KIA juga memberikan kesempatan kepada suami untuk menemani istrinya dalam masa persalinan dengan hak cuti.
Secara latar belakang, UU KIA lahir sebagai inisiatif DPR RI karena melihat perempuan sebagai kelompok yang rentan. Puncaknya pada tahun 2021, di Indonesia ada angka kematian ibu dan anak sebanyak 300/1000 kelahiran.
Lantas, seperti apa aturan lengkapnya ya? Berikut ulasannya:
Aturan Lengkap UU KIA
Kesejahteraan Ibu dan Anak menurut Undang-undang tersebut adalah sebuah kondisi yang menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak dalam keluarga yang bersifat fisik, psikis, sosial, ekonomi, dan spiritual sehingga dapat mengembangkan diri secara optimal melalui adaptasi, hubungan, pertumbuhan, afeksi, dan pemecahan sesuai fungsi sosial dalam perkembangan kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah harus menjamin Kesejahteraan Ibu dan Anak. Khususnya untuk kaum perempuan yang berkarier. Bahwa perusahaan tidak boleh memecat perempuan tersebut meski memiliki hak cuti selama 6 bulan.
Baca Juga: Riset: Cuti Melahirkan Jadi Pertimbangan Wanita Pilih Tempat Kerja, Intip Yuk!
Bukan hanya itu, selama cuti 6 bulan, ibu melahirkan juga harus tetap mendapatkan gaji dari tempatnya bekerja. Gaji itu sebanyak 100 persen selama tiga bulan pertama cuti, dan 75 persen pada tiga bulan kedua.
Dalam BAB II Pasal 4 UU KIA disebutkan bahwa ibu harus mendapatkan pelayanan kesehatan sebelum kehamilan, masa kehamilan, saat melahirkan dan pasca-melahirkan.
Ibu juga memperoleh jaminan kesehatan sebelum kehamilan, masa kehamilan, saat melahirkan dan setelah melahirkan, serta mendapatkan pendampingan saat melahirkan atau keguguran dari suami dan/atau Keluarga.
Lebih dari itu, ibu hamil harus mendapatkan perlakuan dan fasilitas khusus pada fasilitas, sarana, dan prasarana umum.
Setelah melahirkan dan merawat bayi, ibu juga berhak mendapatkan pendidikan perawatan, pengasuhan (parenting), dan tumbuh kembang Anak.
Ibu juga mendapatkan mendapatkan hak cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan; mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran.
Syarat yang Harus Dipenuhi
Jika melihat dalam aturannya, setiap Ibu bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan 6 bulan asal memenuhi syarat dan ketentuan, di antaranya paling singkat 3 bulan pertama, dan paling lama 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Kemudian, suami mendapatkan kesempatan untuk menemani istri di masa persalinan yang sebelumnya hanya 2 hari, kini diperpanjang paling lama 3 hari berikutnya.
Dampaknya bagi Ibu dan Anak
Ketua Satuan Tugas (SATGAS) ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. dr. Naomi Esthernita F. D, Sp.A(K), mengatakan kebijakan cuti melahirkan memberikan dampak positif kepada ibu menyusui khususnya soal inisiasi menyusui. Ibu bisa menyusui bayinya selama enam bulan.
“Ibu yang kembali bekerja terlalu dini setelah melahirkan menunjukkan efek yang merugikan, dia lebih cepat berhenti menyusuinya tidak sampai eksklusif 6 bulan, dan durasinya lebih pendek dibanding ibu-ibu bekerja yang diberikan cuti melahirkan," terang Naomi.
Selain memberikan ASI eksklusif kepada bayi, cuti melahirkan juga memberi manfaat pada ibu yaitu sebagai perbaikan kesehatan fisik dan mental pada periode post-partum (setelah melahirkan), menurunkan depresi dan mendukung perkembangan anak yang optimal pada 1.000 hari pertama kehidupan.
Sedangkan pada bayi, cuti melahirkan bisa berdampak pada kesehatan anak akan lebih baik karena ASI dapat menjaga imun serta tidak akan terlewat jadwal imunisasi. Pemberi kerja juga disebut Naomi mendapat keuntungan karena jika bayi sehat, ibu yang bekerja tidak akan sering izin dan menjadi lebih loyal kepada perusahaan.
Namun, data dari International Labour Organization (ILO) hanya 12 persen negara saja yang memberikan cuti melahirkan 18 minggu, setengah dari target ILO 2030 sebesar 25 persen.
Negara yang Memberikan Cuti Melahirkan Lebih dari 3 Bulan
Selain Indonesia, sudah ada beberapa negara lain yang telah memberikan hak cuti kepada Ibu melahirkan lebih dari 3 bulan. Negara-negara tersebut juga tetap memberikan tunjangan kepada karyawannya.
- Swedia: Di Swedia, ibu dapat mengambil cuti melahirkan selama 480 hari dengan tunjangan sebesar 80% dari gaji mereka.
- Norwegia: Ibu di Norwegia dapat mengambil cuti melahirkan selama 49 minggu dengan tunjangan sebesar 100% dari gaji mereka.
- Islandia: Di Islandia, ibu dapat mengambil cuti melahirkan selama 13 minggu dengan tunjangan sebesar 80% dari gaji mereka.
- Kanada: Ibu di Kanada dapat mengambil cuti melahirkan selama 52 minggu dengan tunjangan sebesar 55% hingga 80% dari gaji mereka, tergantung pada provinsi.
- Finlandia: Di Finlandia, ibu dapat mengambil cuti melahirkan selama 105 hari dengan tunjangan sebesar 70% dari gaji mereka.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Tak hanya keuntungan yang dilihat dari kebijakan cuti melahirkan ini. Namun, ada juga beberapa tantangan seperti beban keuangan bagi pemerintah dan perusahaan. Oleh karena itu, perlu keseimbangan yang baik antara hak ibu dan keberlanjutan ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, pihaknya mendukung upaya pemerintah dalam mengarusutamakan kebijakan yang berperspektif gender, khususnya dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak. Namun, ia merasa khawatir kebijakan ini berpotensi merugikan pelaku usaha karena dapat menambah beban baru bagi dunia usaha.
"Apindo pada dasarnya mendukung, karena ini juga sejalan dengan program Apindo dalam berpartisipasi menurunkan prevalensi stunting. Namun, ketentuan baru tersebut berpotensi menambah beban baru dunia usaha, baik secara finansial dan non-finansial," ujarnya.
Untuk itu, menurutnya perlu ada dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha, disertai pemutakhiran kebijakan mengenai cuti hamil atau melahirkan yang sudah disepakati dalam PP/PKB di perusahaan masing-masing.
"Dunia usaha berharap agar penerapan disertai efektivitas peranan strategis pemerintah yang seimbang, yakni dengan tetap memberikan perlindungan memadai bagi pekerja perempuan yang melahirkan tanpa mengorbankan produktivitas dan daya saing dunia usaha," jelasnya.
Tak hanya itu, publik juga merasa khawatir terhadap kebijakan cuti tersebut. Banyak yang khawatir perusahaan akan semakin semena-mena terhadap pekerja perempuan dan ke depannya perempuan dinilai akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Mengutip dari beberapa laman media sosial, berikut keresahan yang dituangkan oleh masyarakat melalui kolom komentar:
So, bagaimana tanggapanmu Growthmates? Kebijakan cuti melahirkan 6 bulan ini lebih menguntungkan atau merugikan?