Kebijakan tarif resiprokal 32% oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, diproyeksi akan berakibat pada penurunan ekspor Indonesia yang berdampak pada sektor industri dan lapangan kerja Indonesia. Mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan sejumlah langkah mitigasi seperti menguatkan negoisasi dengan Pemerintah AS, upaya yang mendapat dukungan dari ekonom Tanah Air.
Ekonom Senior INDEF, Bustanul Arifin, menjelaskan bahwa selain produk elektronik, pakaian jadi, dan sepatu, ekspor Indonesia ke AS mencapai US$26,3 miliar atau sekitar 10% dari total ekspor Indonesia ke pasar global. Menurutnya, angka 10% pangsa ekspor ke AS tidak seharusnya dilihat kecil atau sebelah mata karena kelalaian mengelola dampak buruk tarif resiprokal ini dikhawatirkan membawa dampak berantai yang lebih buruk.
Baca Juga: Nasib Pasar Keuangan RI Dampak Kebijakan Tarif Trump
"Salah satu lembaga analis ekonomi global CEIC bahkan memperkirakan peluang resesi ekonomi global yang cukup tinggi dengan Indonesia dan Malaysia yang diperkirakan berkisar 5%. Risiko ketidakpastian ini dipicu oleh instabilitas geopolitik, proteksionisme negara maju yang memengaruhi rantai pasok dan perdagangan komoditas global, serta pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi tinggi, yang justru berimbas lebih buruk," tegasnya, dikutip Kamis (10/4/2025).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, nilai ekspor produk pangan-pertanian Indonesia ke AS meliputi minyak sawit dan turunannya US$1,3 miliar (4,9%), ban dari karet US$800 juta (3%), alas kaki bersol karet US$792 juta (3%), krustasea udang-kepiting US$751 juta (2,8%), krustasea lain—kerang-tiram dengan dan tanpa cangkang US$685 juta (2,6%), serta karet alam US$673 juta (2,6%).
"Dampak buruk kebijakantarif baru AS ini adalah penurunan kinerja ekspor produk pangan penting seperti minyak sawit, produk dari karet, hasil laut dan karet alam yang selama ini menjadi andalan devisa Indonesia. Pelaku usaha perlu terus didorong dan difasilitasi untuk berunding dan menyelesaikan kontrak dagang yang telah disepakati sebelumnya," tegasnya.
Dia meminta pemerintah dan dunia usaha dibantu akademisi untuk terus-menerus melakukan diplomasi, berunding dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR=United States Trade Representatives). Usulan-usulan konkret kerja sama perlu disampaikan untuk meringatkan dampak bagi perekonomian Indonesia.
Manajemen Krisis
Guru Besar UNILA mendukung negoisasi dengan AS terkait kerangka kerja sama Asean-US TIFA (Trade and Investment Framework Agreement) yang menjadi kesepakatan dengan seluruh negara Asean. Menurutnya, Indonesia dan Asean tidak harus melakukan retaliasi terhadap kebijakan tarif Trump karena pintu diplomasi masih tetap terbuka. Selain itu, diperlukan diplomasi khusus dengan Pemerintah AS dalam hal kebijakan non-tarif atau NonTariff Measures-NTM), misalnya tentang local content atau tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Indonesia dinilai perlu secara terbuka melakukan relaksasi TKDN untuk sektor teknologi informasi dan komunikasi dari AS yang pernah dipermasalahkan oleh perusahaan raksasa Apple, General Electric (GE), Oracle, Microsoft dll.
Di dalam negeri, Indonesia perlu membenahi kebijakan dan peraturan perundangan tentang impor pangan yang tidak konsisten, di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Permentan 5/2022 masih mensyaratakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), Permendag 8/2024 tidak mensyaratkan RIPH, tetapi menggunakan data keseimbangan supply demand jika neraca komoditas (NK) belum tersedia pada saat dibutuhkan.
Pemerintah juga diminta meningkatkan efektivitas kebijakan pembatasan impor gula putih dengan mekanisme NK. Industri gula dapat mengimpor gula mentah untuk memproduksi gula rafinasi bagi industri pangan, berdasar alokasi pemerintah sesuai kapasitas industri. Industri pangan dapat mengimpor langsung gula rafinasi dengan persyaratan ketat, termasuk penggunaan gula rafinasi tersebut.
"Pekerjaan rumah untuk meningkatkan produktivitas pangan pokok dan strategis harus terus diselesaikan sehingga kontroversi politis tentang impor beras, jagung, dan kedelai yang melibatkan Perum Bulog dapat dikurangi. Energi bangsa dapat dimanfaatkan lebih efektif lagi untuk memperbaiki basis kebijakan ekonomi pangan yang fair dan beradab," pungkas President of ASAE ini.