Berkurangnya jumlah kelas menengah dinilai memiliki dampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya, kelas menengah memiliki peran penting dalam kinerja pembangunan ekonomi karena memainkan peran sosial-politik yang penting, menentukan tata kelola, kualitas kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama 5 tahun terakhir, masyarakat kelas menengah mengalami penurunan sebesar 9,48 juta orang atau 16,5% sejak tahun 2019. Prof. Bustanul Arifin, Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), menegaskan, dukungan kelas menengah terhadap reforma kebijakan ekonomi dan politik hanya dapat terwujud jika kebijakan sejalan dengan kepentingan mereka.

Baca Juga: Jumlah Kelas Menengah Turun, Mungkinkah Gagasan Indonesia Emas 2045 Terwujud?

"Kelas menengah yang aktif secara politik cenderung mendukung demokrasi meskipun banyak tuntutan tentang kualitas pelaksanaan demokrasi itu. Penurunan kelas menengah berhubungan dengan transformasi struktural perekonomian Indonesia," terang Prof. Bustanul belum lama ini, dikutip Rabu (11/9/2024).

Lebih lanjut dia menjelaskan, transformasi struktural berupa pergeseran atau perpindahan dari ekonomi berbasis pertanian menjadi ekonomi berbasis industri manufaktur. Ekonom Senior INDEF ini menyampaikan bahwa penurunan kelas menengah sudah terjadi sejak tahun 1995 dan diperparah pada tahun 2020.

"Cikal bakal deindustrialisasi sudah mulai terlihat sejak tahun 1995, di mana pangsa terhadap PDB sebesar 41,8% menurun menjadi 38,5% di tahun 2005. Kemudian, angka tersebut terus menurun," ujarnya.

Prof. Bustanul juga menekankan bahwa secara keseluruhan tingkat inflasi terkendali, tetapi volatile food masih tinggi. Pemerintah memiliki pekerjaan yang belum selesai dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Dia menyarankan upaya penurunan kemiskinan dengan cara pemberian insentif dan perbaikan governasi kebijakan.

Rekomendasi lain yang disarankan oleh Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung ini adalah perbaikan hulu dalam transformasi sistem pangan dan pertanian untuk memperkuat industrialisasi. "Industrilisasi terjadi, nilai tambah lebih kuat, lapangan kerja baru terbentuk, fondasi ekonomi kuat, sehingga kelas menengah lebih agile dan tangguh," katanya.

Selain itu, strategi digitalisasi dengan pemanfaatan big data dan AI hingga penguatan ekonomi daerah dengan dukungan penelitian dan pengembangan, serta reforma sistem pendidikan dan pengembangan SDM dalam masyarakat akan mengatasi terjadinya penurunan kelas menengah.

Sementara itu, Eko Listiyanto, Direktur Pengembangan Big Data INDEF, mengatakan bahwa perlambatan konsumsi dan PMI manufaktur yang makin terkontraksi di Agustus 2024 menjadi alarm yang mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Selain itu, deflasi 4 bulan berturut-turut yang menurun mengindikasikan daya beli masyarakat melemah.

Eko pun merekomendasikan pemerintah untuk menunda kenaikan harga-harga barang dan jasa yang bisa dikendalikan pemerintah (administered price). Selain itu, dia merekomendasikan peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk menstimulasi kegiatan ekonomi. Industri padat karya juga harus dilindungi agar fenomena penurunan kelas menengah bisa teratasi.

Baca Juga: Membongkar Biang Kerok yang Bikin Jutaan Warga Kelas Menengah Turun Kasta

"Tren suku bunga tinggi harus segera diakhiri untuk menggerakkan sektor riil dengan cara membanjiri likuiditas kredit bagi UMKM atau dunia usaha," ungkap Eko.

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Perindustrian RI, Agus Gumiwang Kartasasmita, masih optimis akan peningkatan kelas menengah dalam beberapa tahun ke depan. Lewat sambutannya yang dibacakan oleh Staf Ahli Bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri, Ignatius Warsito, Menperin menegaskan bahwa 47,85 juta jumlah kelas menengah di Indonesia merupakan pasar yang sangat besar.

"Dengan jumlah penduduk mencapai 278 juta jiwa yang 47,85 juta jiwa di antaranya merupakan kelas menengah, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar. Menurut McKinsey, kelas menengah akan tumbuh sebanyak 90 juta jiwa pada tahun 2030," pungkasnya.