Aksi unjuk rasa yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia dalam satu dua hari belakangan ini masih berpotensi untuk terus berlanjut.
Aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan dan penjarahan di sejumlah rumah pejabat negara itu dipicu kekesalan masyarakat atas ucapan dan tingkah laku para anggota DPR.
Tetapi itu bukan menjadi pemantik utamanya, masyarakat sebetulnya sudah kadung kesal dengan isu kenaikan tunjangan dan gaji DPR yang dikemudian hari desas desus kenaikan tunjangan dan gaji itu diralat.
Baca Juga: Sahroni, Eko Patrio, Hingga Nafa Urbach Masih Dapat Gaji
Masyarakat semakin kesal ketika muncul video sejumlah anggota DPR yang tampak sedang berjoget di ruang sidang, dimana dari sejumlah potongan video yang beredar di media sosial menyebut aksi joget tersebut dilakukan karena para anggota dewan senang mendapat kenaikan gaji dan tunjangan, aksi joget-joget itu kekinian telah diklarifikasi.
Meski begitu masyarakat tetap kesal, isu membubarkan DPR pun mulai digulirkan di media sosial, isu itu cepat menjalar dan disambut antusias lalu menjadi sebuah gerakan kolektif.
Kemarahan mereka memuncak setelah anggota DPR Fraksi NasDem Ahmad Sahroni mengatakan mereka yang ingin membubarkan DPR adalah orang tertolol di dunia.
Pernyataan itu membakar emosi masyarakat yang kemudian melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran di DPR, mereka menuntut lembaga ini sebaiknya dibubarkan saja.
Sayangnya aksi unjuk rasa ini justru berujung kerusuhan besar, fasilitas umum dirusak dan dibakar, puncaknya adalah aksi penjarahan rumah Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Pasca penjarahan itu, NasDem kemudian menonaktifkan Sahroni dan Nafa Urbach dari anggota DPR, begitu juga dengan PAN yang langsung menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya yang dinilai ikut membuat masyarakat kesal dan sakit hati karena ulah dan perkataan mereka.
Aksi unjuk rasa besar–besar imbas pernyataan para pejabat yang keseleo lidah bukan baru pertama terjadi di Indonesia, sebelum kasus Sahroni dkk, jauh sebelumnya sudah ada beberapa pejabat publik yang mengalami hal serupa;
Ahok
Politisi PDI Perjuangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah diprotes keras atas kasus penistaan agama Islam yang terjadi pada 2017 silam.
Ahok yang ketika itu menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta keseleo lidah ketika mengutip ayat suci Al-Quran saat kunjungan kerjanya ke Pulau Seribu pada September 2016 lalu.
Pernyataan Ahok yang mengutip surat Almaidah 51 itu membuat sejumlah organisasi keagamaan murka yang berujung pada unjuk rasa besar-besaran di Jakarta. Ahok kemudian dinyatakan bersalah dan dipenjara selama dua tahun.
Bupati Sudewo
Sebelum aksi unjuk rasa besar-besaran di Jakarta, aksi unjuk rasa juga sempat terjadi di sejumlah daerah salah satunya di Pati, Jawa Tengah.
Aksi unjuk rasa yang kemudian menjadi isu nasional itu untuk memprotes kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan yang secara tiba-tiba.
Namun amarah massa bukan hanya pada kebijakan kenaikan pajak, tetapi massa marah dengan pernyataan Bupati Sudewo yang sebelumnya justru menatang rakyatnya untuk datang dan berunjuk rasa di kantornya.
Sudewo bahkan mengatakan, dirinya bahkan tak pernah takut jika didemo hingga 5.000 massa.
Imbasnya saat aksi unjuk rasa pecah, Sudewo yang hendak menemui massa justru dilempari pengunjuk rasa yang kadung kesal. Tak hanya itu masyarakat juga meminta DPRD setempat untuk memakzulkan Sudewo, dimana usulan itu langsung diterima DPRD.
Yaqut Cholil Qoumas
Eks Menteri Agama RI era Presiden Joko Widodo, Yaqut Cholil Qoumas juga merasakan amarah masyarakat, khususnya umat muslim Tanah Air yang tersinggung dengan pernyataan kontroversialnya.
Baca Juga: Rumah Dijarah Massa, Ahmad Sahroni Kini Dinonaktifkan dari DPR
Pada 2022 silam, Yaqut dirundung demo yang berlangsung berjilid-jilid di Jakarta dan beberapa daerah lain lantaran mengumpamakan suara dari toa masjid dengan gonggongan anjing.