Setelah sukses membangun sejumlah kawasan elite di Jakarta, Maestro properti Tanah Air, Ciputra mulai melebarkan sayap bisnisnya ke kota-kota besar lainnya di Indonesia. Tujuan kali ini adalah Surabaya, Jawa Timur.
Ciputra sudah lama jatuh hati dengan sebuah kawasan yang menghampar belasan ribu meter di kawasan Surabaya Barat. Itu bukanlah lahan biasa, Pada musim kemarau tanah itu begitu kering hingga pecah-pecah. Ketika musim hujan datang, lahan luas itu menjadi danau lumpur. Tak terbayangkan bisa ada kehidupan di sana.
Baca Juga: Kiprah Ciputra dan Sang Menantu dalam Membangun BSD: Kolaborasi Mimpi, Strategi, dan Integritas
Kendati penampakan lahan tak meyakinkan namun bukan Ciputra namanya kalau tak ngotot, memang ia sudah berulang kali dihadapkan pada tantangan seperti ini, namun kali ini tantangan itu terasa jauh lebih berat.
Ciputra tak menyerah, ia percaya pada nalurinya, bahwa tanah gersang itu bisa ia garap menjadi satu maha karya. Ia teguh pada prinsipnya, bahwa tugas paling luhur developer adalah menghidupkan sesuatu yang semula dianggap tak berpengharapan.
“Ketika saya pertama kali melihat tanah itu di pertengahan 80-an, tak ada tanaman yang tumbuh di sana, apalagi satwa. Tak ada. Seorang pejabat Pemda Surabaya yang menemani saya saat melihat tanah itu sempat mengatakan, "Mau bangun apa di sini, Pak Ciputra? Kambing saja tak bisa hidup." Saya menjawab dengan cepat, "Tapi manusia kan bisa hidup di sini,” kata Ciputra dilansir Olenka.id Rabu (23/7/2025).
Menggandeng Sang Menantu
Untuk memulai perjuangan di Surabaya Barat, Ciputra menggandeng sejumlah orang kepercayaannya, namun untuk proyek kali ini, ia mengikutsertakan Harun Haji menantu Ciputra yang kelak ikut menjadi salah satu tokoh properti terkemuka Tanah Air. Mereka lalu mendirikan PT Bumi Citra Surya dan memulai proyek itu.
“Harun menjadi direktur utama. Ketika itu, pembangunan di Surabaya banyak terkonsentrasi di wilayah timur karena pusat pemerintahan Surabaya memang lebih dekat ke timur. Tak ada yang melirik wilayah barat karena dianggap tandus,” ujarnya.
Harun kemudian berangkat bersama orang kepercayaan Ciputra ke Surabaya. Di sana mereka merekrut beberapa orang lagi sebagai tim awal. Mereka mengontrak ruko di Jalan Mayjen Sungkono dan tinggal di ruko tiga lantai itu. Lantai pertama untuk menerima tamu.
Lantai kedua sebagai kantor atau tempat kerja mereka. Dan, lantai atas untuk tempat tinggal mereka. Tidak ada privasi. Harun membeli beberapa tempat tidur dan meletakkannya berjejer di lantai tiga. Mereka tidur seperti di dalam barak. Mereka menyewa ruko di sana karena kawasan itu terbilang strategis dan dekat dengan kantor pemerintahan.
“Harun dan rekan-rekannya akan sering bolak-balik kantor pemda untuk mengurus perizinan dan pembebasan tanah. Tugas terberat tim ini adalah membebaskan tanah ribuan hektare itu. Hebatnya, mereka sama sekali tidak keberatan dengan kondisi itu. Mereka sangat menikmati dan fokus pada pekerjaan,” tutur Ciputra.
Setelah semua persiapan tuntas dilakukan, Ciputra menugaskan Harun untuk mengurus perizinan dan pembebasan lahan, Ciputra awalnya sedikit ragu mengembankan tugas itu kepada sang menantu pasalnya yang bersangkutan belum berpengalaman sama sekali, ia baru pulang dari Amerika setelah menuntaskan studinya di sana.
Sepanjang 1989 hingga 1993, Harun berkonsentrasi pada urusan pembebasan tanah. Pada tahun itu juga akhirnya pembangunan bisa dimulai.
“Ia dengan kemauan belajar yang tinggi kemudian memulai proyek yang terbilang sulit itu. Benar-benar jauh dari mudah. Bayangkan, ia baru pulang dari Amerika, belum ada pengalaman kerja di bidang real estat tiba-tiba disuruh mengurus pembebasan ribuan hektare tanah kering kerontang,” kata Ciputra.
“Sekilas tampaknya mudah untuk membebaskan tanah yang terbengkalai itu, tapi nyatanya sulit. Tanah itu dimiliki sejumlah besar orang dan Harun harus menekuni proses pembelian satu per satu. Butuh waktu yang panjang. Saya menyemangati Harun,” tambahnya.
Membidik Kalangan The Haves Lewat Lapangan Golf
Setelah seluruh proses administrasi dan pembebasan tuntas dilakukan, pembangunan langsung dikebut, hal pertama yang dilakukan adalah membangun lapangan golf, tujuannya adalah untuk membetot perhatian orang-orang kaya di sana.
Ide pembangunan lapangan golf 27 hole itu lahir dari pikiran cemerlang Harun yang langsung dimainkan Ciputra. Menurutnya jehadiran orang-orang kelas atas di kawasan itu akan menjadi pewarna bahkan pemantik hidupnya pasar yang mereka target, jadi kedepannya mereka bakal menjual kavling menengah dan kavling luas yang berhadapan langsung dengan lapangan golf untuk kalangan atas, sungguh sebuah perhitungan bisnis sangat matang.
Baca Juga: Sri Mulyani Stres Setiap Kali Dipanggil Prabowo
“Saya sependapat dengan Harun. Lapangan golf di kawasan yang kami beri nama Citraland Surabaya itu akhirnya dibuat dengan bantuan Dye Design dari Amerika. Dengan nama Lapangan Golf Ciputra, lapangan 27 hole itu menjadi sangat populer di Surabaya. Pembuatannya relatif cepat. Pada tahun 1994, kami sudah bisa melakukan launching Citraland Surabaya,” tuturnya.
Tak ada yang meleset, semua berjalan sesuai perhitungan awal, orang-orang kelas atas di Surabaya berbondong-bondong ke kawasan itu. Mereka kemudian tertarik melihat kavling-kavling yang berhadapan langsung dengan lapangan golf.
Tak sampai lama, ruko kantor tim Harun penuh sesak dibanjiri calon pembeli. Untuk melayani kalangan "the haves" yang mengincar kavling bukit golf, Harun mendatangi langsung kantor mereka, agar kavling-kavling tersebut lebih cepat terjual. Saking larisnya, bahkan ada calon pembeli yang nekat naik ke lantai tiga, tempat tim Harun tidur, karena khawatir kehabisan kavling. Ada-ada saja.
“Seiring dengan kegembiraan itu, tim Harun giat membangun lahan. Yang dibuat terutama adalah rumah-rumah menengah. Kavling-kavling besar apalagi yang terletak di bukit golf sudah pasti akan dibangun oleh si empunya kavling sendiri,” tandasnya.