Ia mencontohkan sudut pandang seorang atasan saat hendak mempromosikan karyawan yang pintar tetapi berperilaku buruk.

“Ini anak pinter, tapi sengak. Kalau gue naikin, nanti gimana nih bawahan? Siapa yang mau ngikutin dia?” ungkap Theo, seraya menegaskan bahwa promosi bukan hanya soal kecakapan, tapi juga soal kepemimpinan dan penerimaan sosial.

Theo menyebut ini sebagai logic case atau keputusan rasional yang akan diambil siapa pun demi menjaga stabilitas tim dan organisasi.

Untuk memperjelas, Theo mengibaratkannya dengan urusan keluarga. Jika seorang ayah hendak mewariskan perusahaan kepada salah satu dari tiga anaknya, ia tentu akan memilih yang paling kecil risikonya bagi keharmonisan keluarga.

“Yang dia pasti pikir setidaknya tidak menghancurkan keluarga. Ini logic case,” tukas Theo.

Theo secara khusus menyampaikan pesan ini kepada Gen Z yang menurutnya sangat pintar dan berpengetahuan luas. Namun, ia juga menyoroti tantangan yang masih dihadapi.

“Gen Z zaman ini knowledgeable sekali. Tapi sorry to say, masalah etiknya cukup belum tertempa dengan baik,” katanya, seraya menegaskan bahwa hal ini wajar karena banyak yang baru lulus dan masih dalam proses pembentukan karakter.

Lebih jauh, ia pun menekankan satu prinsip sederhana, namun fundamental dalam kehidupan profesional.

“Hidup ini cuma masalah siapa butuh siapa,” tegas Theo.

Menurutnya, semakin tinggi kompetensi seseorang dan semakin baik karakternya, semakin besar pula kebutuhan orang lain terhadapnya.

“Makin lo pintar, makin lo karakternya bagus, orang butuh lo, lo di top of mind orang, udah pasti lo dapat project,” pungkasnya.

Baca Juga: Marcel Irawan Ungkap Peluang dan Tantangan Perusahaan Keluarga