Isu kerusakan lingkungan mengemuka di tengah bencana alam yang mengguncang Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Aceh. Deforestasi disebut-sebut menjadi biang kerok utama dari banjir dan longsor yang telah merenggut ratusan jiwa itu.
Pemerintah sudah berencana menindaklanjuti isu desas-desus tersebut setelah ribuan gelondongan kayu yang dihanyutkan banjir bandang menjadi sorotan publik, namun tindak lanjut itu baru sebatas wacana.
Alasannya belum ada bukti kuat yang mengarah pada tindakan perusakan hutan yang menyebabkan bencana dahsyat itu. Pemerintah berjanji bakal melakukan menginvestigasi untuk mengumpulkan bukti. Namun di sisi lain pemerintah menyebut bahwa bencana alam itu semata-mata dipicu cuaca ekstrem.
Baca Juga: Mengulik Penyebab Bencana Alam Sumatra, Benarkah Gegara Pembalakan Liar?
Terlepas dari wacana di atas, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut mencatat bahwa hutan di Sumatera dirusak secara masif sejak 2016 hingga 2025, data itu dikumpulkan dari rekam citra satelit. Total kerusakan hutan sudah mencapai 2 ribu hektare.
"Perusakan hutan di sana itu disebabkan ya, dipicu ya, oleh beberapa perusahaan. Jadi kita menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumatra Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem. Tapi pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem ini, pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba dilansir Olenka.id Rabu (2/12/2025).
Sementara itu, Bantuan Hukum dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Regional Barat mencatat perusakan hutan di kawasan Sumatra masif dilakukan sejak lama, bahkan dalam rentan 2020-2024 saja sudah ada ratusan ribu hektare hutan yang dirusak.
Pengrusakan hutan itu terjadi karena masifnya alih fungsi lahan, izin konsesi pada perusahaan pertambangan dan perkebunan di Sumatra terus-terusan diberikan. Hal ini diperparah dengan Tambang-tambang ilegal dan pembalakan liar liar sebagaimana yang terjadi di wilayah Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, dan Pesisir Selatan.
Penyerobotan hutan itu bahkan menyasar hingga ke kawasan konservasi dan hutan lindung seperti di wilayah perbukitan di Taman Nasional Kerinci Seblat.
Delapan Perusahaan Diduga Terlibat
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq tidak membantah bahwa kerusakan hutan di kawasan Sumatra memang masif, namun ia belum bisa menyimpulkan kerusakan hutan itu menjadi penyebab bencana alam mengerikan itu.
Catatan Kementerian Kehutanan, setidaknya ada delapan perusahaan yang diduga kuat terlibat dalam kerusakan hutan Sumatra. Perusahaan itu bergerak di tanaman industri, tambang emas hingga perusahaan sawit.
Dalam waktu dekat delapan perusahaan yang diduga beraktivitas di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru, Tapanuli Selatan itu bakal dipanggil untuk dimintai penjelasan terkait asal-usul kayu-kayu yang hanyut saat hujan deras di Sumut.
"Kami minta mereka menjelaskan semua persoalannya termasuk menghadirkan citra satelit resolusi sangat tinggi pada saat kejadian supaya bisa membuktikan ini kayu itu dari mana asalnya sehingga citra satelit itu harus dibawa ke kita untuk kita rumuskan," kata Hanif.
Pemerintah Jangan Lembek
Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari mendesak pemerintah bertindak tegas terhadap delapan perusahaan ini. Menurut Ratna, pemanggilan saja tidak cukup, pemerintah diminta untuk tidak lembek. Harus ada tindakan tegas sebab aktivitas mereka telah menimbulkan kerugian besar.
Baca Juga: Berapa Anggaran yang Disiapkan Pemerintah untuk Penanganan Bencana Sumatra?
“Kerugian yang muncul sangat nyata. Ini bukan lagi soal dipanggil atau tidak, mereka harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Ratna menuntut pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup, untuk mencabut izin seluruh perusahaan yang terbukti merusak lingkungan di kawasan DAS Batang Toru maupun daerah rawan ekologis lainnya.
“Saya minta pemerintah mencabut izin semua perusahaan yang terbukti merusak lingkungan di kawasan DAS Batang Toru. Begitu juga perusahaan lain di berbagai wilayah yang jelas-jelas menyebabkan kerusakan,” tegasnya.
Ratna mengingatkan bahwa bencana ekologis seperti banjir bandang bukan lagi peristiwa insidental, tetapi pola kerusakan lingkungan yang berulang akibat lemahnya pengawasan.
“Apa masih kurang warga menjadi korban? Apa masih samar-samar melihat penderitaan warga akibat banjir bandang? Kita semua wajib melakukan tobat ekologis, seperti yang selalu diingatkan Ketua Umum kami, Gus Muhaimin,” ujarnya