Tanaman bambu yang selama ini identik dengan pedesaan dan budaya tradisional, kini kembali menjadi sorotan dalam Forum Bumi bertema “Arah Kebijakan Pelestarian dan Pemanfaatan Bambu sebagai Solusi untuk Ketahanan Ekosistem, Ekonomi, dan Sosial” yang digelar pada Kamis (18/9/2025). Forum ini mempertemukan pemerintah, industri, hingga organisasi lingkungan untuk merumuskan strategi bersama agar bambu dapat diangkat menjadi komoditas unggulan Indonesia.
Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tinggi, Indonesia menyimpan potensi bambu yang luar biasa. Dari 1.642 jenis bambu yang ada di dunia, 172 jenis hidup di tanah air, dengan lebih dari seratus di antaranya bersifat endemik.
Namun, tanaman serbaguna ini kerap dipandang sebelah mata, sekadar bahan bangunan atau anyaman tradisional. Padahal, bambu mampu menyerap karbon dalam jumlah besar, menahan erosi, menjaga cadangan air, sekaligus menopang ekonomi masyarakat bila dikelola secara tepat.
Baca Juga: Beragam Gula: Tanaman Pemanis Alami Selain Tebu
Potensi besar inilah yang menjadi latar belakang penyelenggaraan Forum Bumi. Para pemangku kepentingan hadir dengan sudut pandang berbeda, mulai dari aspek lingkungan, industri, perbankan, hingga kebudayaan. Dari pertemuan ini, muncul gagasan penting bahwa bambu tidak hanya warisan budaya, melainkan juga sumber daya strategis yang perlu dimasukkan dalam agenda pembangunan nasional.
Bambu dan Peran Strategis dalam Mitigasi Iklim
Dalam forum, Dr. Haruki Agustina dari KLHK menekankan bahwa bambu memiliki kemampuan menyerap karbon lebih tinggi dibandingkan banyak tanaman lainnya. Dengan karakteristik tersebut, bambu berpotensi besar membantu Indonesia mencapai target pembangunan rendah karbon.
"Bambu bisa menjadi solusi alami untuk mengurangi emisi, sekaligus menjaga kualitas tanah dan ekosistem,” ujarnya.
Baca Juga: Peran Ekonomi dan Ekologis Tanaman Nipah
Peran bambu dalam mitigasi iklim bukan hanya soal serapan karbon. Bambu juga mampu memperbaiki kualitas tanah melalui sistem perakarannya yang kuat dan dalam. Akar bambu mencegah longsor di daerah rawan bencana serta membantu menjaga ketersediaan air tanah.
“Satu rumpun bambu saja mampu menyerap hingga 5.000 liter air. Jika ekosistem bambu rusak, kita kehilangan penyangga cadangan air yang sangat penting,” tambah Haruki.
Di berbagai negara, bambu mulai diposisikan sebagai elemen penting dalam kebijakan lingkungan. Filipina misalnya, membentuk Philippine Bamboo Industry Council yang mengintegrasikan konservasi dengan industri sejak 2010. Langkah serupa dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk menempatkan bambu sebagai bagian dari strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Baca Juga: Mengupas Potensi Besar Bunga Matahari: Tanaman Serba Guna yang Bernilai Ekonomi Tinggi
Sayangnya, di tanah air, bambu sering diperlakukan sebagai tanaman liar yang tumbuh di pinggir sungai. Alih fungsi lahan dan eksploitasi berlebihan membuat luas hutan bambu kian berkurang. Jika tidak ada upaya konservasi yang terarah, peran bambu sebagai penjaga ekosistem bisa hilang.
"Kita sering lupa, menjaga bambu berarti menjaga air dan kehidupan di sekitar kita,” tegas Haruki.
Potensi Ekonomi dan Industri Hijau dari Bambu
Selain nilai ekologis, bambu menyimpan potensi ekonomi besar. Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, menjelaskan bahwa bambu dapat diolah menjadi produk bernilai tinggi.
“Bambu bisa dikembangkan menjadi furnitur, tekstil, hingga material ramah lingkungan yang berdaya saing global,” katanya.
Dalam konteks substitusi, bambu bahkan bisa menggantikan kayu yang ketersediaannya semakin menipis akibat deforestasi. Bambu tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan pohon kayu, sehingga siklus produksinya lebih singkat dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Menilik Potensi Rosella, Tanaman Serat Alam yang Multifungsi
"Kami mendorong pemanfaatan bambu sebagai bagian dari substitusi bahan baku kayu, sekaligus mendukung penguatan industri hijau nasional,” lanjut Putu.
Negara lain telah menunjukkan keseriusannya. Vietnam kini memiliki lebih dari 1.500 perusahaan pengolahan bambu yang tidak hanya memproduksi barang konsumsi, tetapi juga melakukan ekspor dalam skala besar. Indonesia dengan keanekaragaman bambunya seharusnya mampu bersaing, bahkan memimpin pasar global.
"Potensinya besar, tapi perlu ada strategi nasional yang jelas, dari budidaya sampai pasar,” tegas Putu.
Bila dimanfaatkan optimal, bambu bisa menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan. Desa-desa penghasil bambu dapat mengembangkan produk turunan seperti mebel, kerajinan, hingga bioenergi. Hal ini sejalan dengan program pemerintah untuk membangun ekonomi desa berbasis sumber daya lokal.
Peran Swasta, Perbankan, dan Kolaborasi Lintas Sektor
Keberhasilan pengembangan bambu tidak bisa dilepaskan dari peran dunia usaha. Fransiska Oei dari CIMB Niaga menegaskan bahwa sektor swasta, termasuk industri perbankan, memiliki tanggung jawab besar dalam membangun ekosistem bambu berkelanjutan.
“Industri perbankan dapat berperan melalui pembiayaan hijau agar bambu tidak hanya dilihat sebagai komoditas tradisional, melainkan bagian dari ekonomi masa depan,” jelasnya.
Model kerja sama seperti ini sudah terlihat melalui program konservasi bambu yang dijalankan CIMB Niaga bersama Yayasan KEHATI sejak 2012. Program tersebut tidak hanya menanam bambu, tetapi juga melatih masyarakat dalam mengelola hasil bambu menjadi produk bernilai ekonomi.
“Tujuannya bukan sekadar menanam, tapi menjadikan bambu sebagai penggerak ekonomi masyarakat,” tambah Fransiska.
Selain perbankan, sektor swasta lain seperti industri kreatif juga berpotensi besar. Studio arsitektur IBUKU di Bali, misalnya, dikenal dunia karena inovasi desain bangunan berbahan bambu. Produk mereka menjadi bukti bahwa bambu dapat diterima pasar kelas atas, bahkan internasional.
Baca Juga: Komoditas Penting bagi Indonesia, Begini Tips Pemupukan untuk Tanaman Kelapa Sawit
Kolaborasi lintas sektor inilah yang ditekankan dalam Forum Bumi. Pemerintah, industri, lembaga keuangan, organisasi lingkungan, dan masyarakat perlu berjalan beriringan. Tanpa kerja sama yang erat, potensi bambu akan sulit berkembang, bahkan terancam hilang akibat eksploitasi tanpa regenerasi.
Bambu sebagai Identitas Budaya dan Gaya Hidup Modern
Bagi masyarakat adat, bambu bukan hanya tanaman, tetapi bagian dari identitas budaya. Dari alat musik angklung, anyaman dinding, hingga kuliner rebung, bambu telah hadir dalam kehidupan sehari-hari sejak lama.
"Bambu merupakan alternatif pengganti kayu yang mampu menyerap air, menopang ketahanan sosial, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat bila dikelola dengan tepat,” kata Rika Anggraini dari Yayasan KEHATI saat ditemui redaksi Olenka.
Baca Juga: Kenali 5 Jenis Hama dan Penyakit pada Tanaman Kelapa Sawit, Begini Cara Mengatasinya
Kini, posisi bambu mulai bergeser ke arah gaya hidup modern. Di Bali, bambu banyak digunakan dalam desain resort mewah sebagai bagian dari arsitektur ramah lingkungan. Di pasar global, bambu diolah menjadi pakaian, aksesoris, hingga produk kuliner seperti teh herbal.
"Bambu kini bukan hanya identitas lokal, tetapi juga bagian dari tren hidup berkelanjutan,” lanjut Rika.
Namun, di balik popularitas itu, ancaman tetap mengintai. Banyak hutan bambu hilang karena alih fungsi lahan dan minimnya budidaya. Padahal, kehilangan bambu berarti kehilangan salah satu “penjaga” cadangan air dan pelindung tanah.
“Jika terus dieksploitasi tanpa ditanam kembali, ekosistem bambu bisa hilang, dan itu kerugian besar bagi kita semua,” ujarnya.
Kisah dari Dusun Bulaksalak di Yogyakarta menjadi contoh nyata. Kawasan yang rusak akibat tambang pasir berhasil direhabilitasi dengan bambu. Kini, ratusan hektar lahan hijau, mata air baru, dan kembalinya habitat burung membuktikan bahwa bambu bisa menjadi solusi ekologi sekaligus sumber ekonomi.
Baca Juga: PLN EPI dan Kementan Sinergi Hijaukan Brebes, Sulap Lahan Tandus Jadi Tanaman Energi
“Bambu bisa menjadi gaya hidup, bukan hanya bahan bangunan. Dari dapur hingga ruang tamu, bambu selalu menemukan jalannya,” tutup Rika.