Ia mencontohkan kreativitas peserta kegiatan yang mampu menciptakan aplikasi bagi para imigran, gambaran bahwa anak muda Indonesia mampu menggabungkan teknologi dengan empati sosial.

Dr. Laksmi menjelaskan, mata pelajaran coding dan AI kini tidak hanya tersedia untuk jenjang SMA atau SMK, melainkan sudah diperkenalkan sejak kelas 5 SD. Namun, pendekatan pembelajarannya disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif anak.

“Di SD, kita bicara tentang kemampuan berpikir kreatif, berpikir kritis, dan berpikir komputasional,” ungkapnya.

Barulah di jenjang SMP hingga SMA/SMK, murid mulai belajar membuat program dan mengembangkan produk teknologi sederhana.

Menutup pernyataannya, Dr. Laksmi kembali menegaskan bahwa AI bukanlah ancaman bagi perempuan, terutama dalam profesi pendidik.

Justru sebaliknya, kata dia, AI dapat menjadi mitra yang membantu meringankan beban administratif dan memungkinkan guru fokus pada pengajaran.

“PR ini bukan menggantikan, tetapi membantu peran perempuan dalam sistem pendidikan. Kita tidak perlu menganggap AI sebagai hal yang tabu, tetapi berteman dengannya. AI bisa memudahkan guru, khususnya dalam menyusun perencanaan pelajaran,” tutupnya.

Baca Juga: Dian Sastrowardoyo Soroti Pentingnya Etika Digital Sejak Dini di Era Kecerdasan Buatan