Evan Spiegel, CEO Snapchat, memang dikenal jago bikin fitur viral. Tapi siapa sangka, di balik dunia filter dan snap-streak, ia juga punya selera bacaan yang dalam dan gak biasa?

Ya, di luar filter dan fitur, daftar bacaan Spiegel mengungkap kedalaman filosofis dan politis yang jarang menjadi berita utama.

Kelima buku ini bukan sekadar pilihan bisnis yang cerdas atau buku panduan produktivitas, tapi buku-buku ini adalah karya yang mengundang perubahan radikal dalam persepsi, strategi, dan pemahaman diri.

Setiap rekomendasi mencerminkan aspek berbeda dari pemikiran Spiegel, mulai dari manuver geopolitik hingga hakikat identitas di era digital.

Jika Anda mencari buku yang akan menantang cara Anda memandang segala hal, mulai dari peperangan kuno hingga fotografi modern, daftar ini akan membawa Anda ke sana.

1. Loonshots karya Safi Bahcall

'Loonshots' membedah keseimbangan yang rapuh antara inovasi dan struktur dalam organisasi. Bahcall, seorang fisikawan dan pengusaha, menjelaskan bagaimana ide-ide inovatif sering gagal bukan karena ide tersebut buruk, tetapi karena sistem tempat ide tersebut lahir.

Ketertarikan Spiegel pada buku tersebut mencerminkan obsesinya dengan pemikiran yang mengganggu. Bahcall mengkategorikan inovasi menjadi dua jenis: inovasi yang tidak masuk akal, yaitu inovasi yang tidak masuk akal yang hanya mengandalkan strategi dan inovasi yang mengandalkan strategi.

Ia menggambarkan bagaimana perusahaan dapat memelihara ide-ide ini tanpa membiarkan gesekan birokrasi menghancurkannya sebelum waktunya.

Dengan menggunakan berbagai studi kasus mulai dari radar di Perang Dunia II hingga obat-obatan yang sangat laku, buku ini merupakan cetak biru untuk memahami mengapa pemikiran yang berani sering kali mati dalam organisasi besar dan cara mencegahnya. Spiegel mungkin menemukan resonansi dalam gagasan bahwa kreativitas membutuhkan lingkungan tertentu untuk berkembang.

'Loonshots' tidak hanya menawarkan wawasan tentang inovasi bisnis; buku ini menyajikan model untuk melihat kegagalan secara berbeda. Buku ini merupakan panduan untuk mengubah hal-hal yang tidak mungkin menjadi hal yang pasti.

2. The Art of War karya Sun-Tzu

Lebih dari sekadar panduan militer, 'The Art of War' merupakan panduan filosofis untuk strategi dan disiplin diri. Spiegel dilaporkan mengaguminya karena wawasan abadi yang ditawarkannya tentang kepemimpinan dan konflik.

Ditulis lebih dari 2.500 tahun yang lalu, teks Sun-Tzu tetap relevan, terutama dalam lingkungan bisnis berisiko tinggi. Buku tersebut menekankan penipuan, waktu, dan pentingnya mengenal diri sendiri sama seperti lawan.

Buku ini tidak terlalu membahas kekuatan kasar dan lebih banyak membahas kecerdasan psikologis. Setiap pepatah berfungsi seperti alat untuk menavigasi ketidakpastian, membuatnya berguna di ruang rapat maupun di medan perang.

Bagi pendiri seperti Spiegel, yang bekerja di industri tempat disrupsi terus-menerus terjadi, fokus pada fluiditas dan kemampuan beradaptasi sangatlah penting.

Baca Juga: 10 Buku yang Direkomendasikan Walter Isaacson, Penulis Biografi Steve Jobs Hingga Leonardo da Vinci

3. The Unbearable Lightness of Being oleh Milan Kundera

Novel Kundera adalah meditasi tentang kebebasan, cinta, dan beban atau ringannya keberadaan yang menghancurkan. Bagi Spiegel, yang karyanya berada di persimpangan antara kefanaan digital dan dampak emosional, pilihan ini memberi tahu.

Berlatar belakang Cekoslowakia yang diduduki Soviet, cerita ini mengikuti seorang dokter bedah, istrinya, dan gundiknya saat mereka menghadapi hasrat, kesetiaan, dan kekacauan politik. Gagasan utama Kundera bahwa sifat kehidupan yang cepat berlalu dapat membebaskan atau membebani kita mencerminkan paradoks dalam teknologi dan identitas saat ini.

Perusahaan Spiegel berkembang pesat karena hal-hal yang fana dan sementara. Dalam istilah Kundera, keringanan itu mungkin terasa membebaskan tetapi juga hampa makna.

Novel ini bertanya: jika tidak ada yang bertahan lama, dapatkah sesuatu menjadi penting? Dilema eksistensial ini memiliki implikasi yang mendalam terhadap cara kita hidup daring dan dalam kehidupan nyata. Renungan filosofis dibungkus dalam prosa yang indah dan intim, menjadikan novel ini cerdas sekaligus sensual.

4. The Social Photo oleh Nathan Jurgenson

Ini mungkin pilihan yang paling sesuai dengan merek bagi pendiri perusahaan teknologi yang dikenal karena mengubah cara kita mengambil dan berbagi foto.

'The Social Photo' karya Jurgenson menantang cara kita memandang fotografi, bukan sebagai metode dokumentasi tetapi sebagai cara komunikasi. Buku ini berpendapat bahwa foto saat ini ada untuk dibagikan, bukan untuk dilestarikan. Foto adalah bagian dari percakapan, bukan rekaman.

Hubungan Spiegel dengan buku ini menggarisbawahi pemahamannya tentang peran budaya Snapchat bukan sebagai aplikasi, tetapi sebagai refleksi dari jenis jati diri yang baru. Jurgenson menyelami secara mendalam estetika sekali pakai dan sifat performatif gambar di era Instagram dan TikTok.

Ia menegaskan bahwa media sosial telah membuat fotografi lebih tentang kehadiran daripada keabadian. Platform Spiegel berakar pada pergeseran ini, di mana foto bukanlah kenang-kenangan tetapi sebuah isyarat.

Buku ini terbaca seperti esai sosiologis dan manifesto, mendorong pembaca untuk memikirkan kembali bagaimana teknologi membentuk kembali persepsi kita tentang ingatan, realitas, dan bahkan keintiman.

5. Mortal Republic karya Edward Watts

Catatan sejarah Watts tentang jatuhnya Republik Romawi merupakan peringatan yang dibungkus dalam sebuah kronik. Ia berpendapat bahwa Roma tidak jatuh karena musuh eksternal, tetapi karena kerusakan internal yang mengikis norma-norma demokrasinya.

Bagi Spiegel, yang perusahaannya beroperasi di bawah sorotan opini publik dan regulasi politik yang terus-menerus, buku ini mungkin berfungsi sebagai meditasi yang menyadarkan.

Watts merinci bagaimana retorika populis, erosi kontrol institusional, dan manipulasi elit menyebabkan keruntuhan demokrasi. Buku ini merupakan bacaan yang diteliti secara mendalam dan mencekam yang menarik persamaan yang menghantui dengan iklim politik modern.

Ketertarikan Spiegel di sini menunjukkan bahwa ia berpikir di luar bisnis, menuju tanggung jawab pengaruh dan kerapuhan kehidupan bermasyarakat. Pesannya jelas: sistem harus dipelihara secara aktif atau sistem tersebut berisiko terurai.

Di dunia teknologi, di mana platform sering kali tumbuh lebih cepat daripada etikanya, ini merupakan pelajaran penting. 'Mortal Republic' bukan tentang sejarah kuno; melainkan tentang masa kini di bawah lensa klasik.

Nah, bagi Anda yang berharap untuk bergerak melampaui wawasan yang dangkal dan menuju substansi pengaruh yang sebenarnya, kelima buku ini tidak hanya menggugah pikiran, tetapi juga mengubah perspektif. Buku-buku ini mungkin tidak memberi tahu Anda apa yang harus dilakukan.

Baca Juga: 6 Buku Karya George Orwell yang Akan Mengubah Pandangan Anda tentang Politik dan Kekuasaan