Nurhayati Subakat merupakah salah satu sosok inspiratif di dunia bisnis Tanah Air. Ia adalah sosok pendiri PT Paragon Technology and Innovation yang menaungi berbagai macam merek kosmetik ternama di Indonesia seperti Wardah, Emina, hingga Kahf.
Perjuangan Nurhayati Subakat membangun Paragon tentu tak mudah. Ia kerap menghadapi berbagai macam ujian dan tantangan bisnis. Misalnya, pada tahun 2011 lalu ia menghadapi ujian besar kala kantor dan lokasi produksi Paragon mengalami kebakaran. Meski demikian, ia kembali bangkit guna melanjutkan perjalanan bisnis bersama Paragon.
Saat ini Paragon telah menjelma jadi perusahaan raksasa di bidang kecantikan. Paragon mampu berevolusi dari bisnis skala rumahan menjadi perusahaan besar dengan lebih dari 14.000 karyawan. Brand-brand yang dihadirkan oleh Paragon menjadi produk favorit bagi masyarakat Indonesia.
Terkait kesuksesan tersebut, Olenka berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Nurhayati Subakat guna menggali lebih dalam tentang prinsip bisnis dan kisahnya dalam membangun Paragon. Berikut ini kutipan wawancara antara Olenka dengan Nurhayati Subakat.
Apakah Anda pernah mengalami kegagalan dalam menjalani bisnis?
Salah satu kegagalan yang menjadi pembelajaran besar bagi saya adalah pada awal perusahaan ini berdiri, rumah kami sempat mengalami kebakaran, di mana rumah tersebut pada saat itu juga berfungsi sebagai tempat produksi dan kantor untuk PT Pusaka Tradisi Ibu (nama perusahaan sebelum berubah menjadi PT Paragon Technology and Innovation di 2011).
Bagaimana cara Anda bangkit dari kegagalan tersebut?
Saat kejadian kebakaran terjadi, saya merasa memiliki tanggung jawab dan kepedulian terhadap karyawan serta pelanggan kami. Perasaan inilah yang mendorong saya untuk bangkit kembali. Saat itu, saya sudah memiliki 25 karyawan, dan kebakaran tersebut terjadi tepat sebelum Idul Fitri di mana karyawan sangat menantikan THR dari kantor.
Sejujurnya, jika hanya untuk kepentingan keluarga kami, membangun kembali bisnis ini mungkin tidak terlalu mendesak. Suami saya, Pak Subakat, masih menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan multinasional sehingga secara finansial kami masih dapat bertahan. Namun, saya tidak bisa berhenti memikirkan nasib 25 karyawan yang bekerja di Paragon dan keluarga-keluarga mereka yang bergantung pada penghasilan dari perusahaan ini.
Selain itu, sebagian besar salon di Tangerang sudah menggunakan produk kami, Putri. Rasa kepedulian dan tanggung jawab itulah yang membuat saya memutuskan untuk membangun kembali Paragon dan melanjutkan perjalanan ini.
Apakah Anda pernah ditipu ketika berbisnis? Kalau pernah, bagaimana kisahnya?
Tentu, selama membangun Paragon, saya pernah menemui adanya ketidakjujuran. Tantangan terbesar yang saya temui adalah mencari tim yang benar-benar jujur. Tidak ada tes atau wawancara kerja yang bisa secara pasti menilai kejujuran seseorang. Hal itu baru terlihat setelah mereka mulai bekerja.
Ketika Paragon masih bernama Pusaka Tradisi Ibu, beberapa kali saya mengalami adanya karyawan yang tidak jujur, seperti penggelapan uang dan kecurangan penjualan. Namun, setiap kali itu terjadi, saya mencoba untuk tetap berkepala dingin. Saya tidak mau membuang energi untuk marah-marah atau kesal berlebihan, karena bagi saya, yang sudah terjadi tidak bisa diubah.
Sebagai gantinya, saya fokus mencari solusi dan belajar dari pengalaman tersebut. Kalau ada karyawan yang terbukti tidak jujur, keputusan saya tegas: mereka harus saya lepas. Kejujuran adalah nilai utama di perusahaan kami, dan itu tidak bisa ditawar.
Setelah beberapa pengalaman seperti itu, saya dan tim mulai mengubah sistem kerja agar lebih transparan dan akuntabel. Misalnya, jika dulu tim sales langsung membawa barang saat menawarkan produk (sistem kanvas), sekarang kami memisahkan tugas mereka. Tim sales hanya bertugas mengambil order, tim lain yang mengirim barang, dan ada tim berbeda lagi yang mengurus penagihan.
Dengan sistem ini, kami bisa melakukan cross-check antar-tim sehingga jika ada ketidakjujuran maka lebih mudah terdeteksi.
Bagi saya, setiap masalah dan pengalaman buruk adalah pelajaran. Dengan membangun sistem yang baik, saya percaya kami bisa meminimalkan risiko dan memastikan nilai kejujuran terus terjaga dalam perusahaan kami.
Bagaimana pandangan Anda tentang menjaga nilai kejujuran dan integritas bagi seorang pebisnis?
Bagi saya, kejujuran dan integritas adalah fondasi utama dalam menjalankan bisnis. Nilai-nilai ini bukan sekadar prinsip, tetapi menjadi tolok ukur yang menentukan setiap keputusan, termasuk saat merekrut karyawan. Karyawan yang pintar sekalipun tidak akan saya pilih jika memiliki integritas yang kurang baik, karena integritas adalah harga mati.
Sejak awal membangun Pusaka Tradisi Ibu, saya dan suami sangat serius menjaga nilai ini. Di perusahaan kami, misalnya, karyawan tidak diperbolehkan menerima bingkisan dari rekanan. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan profesional, bukan karena pengaruh hadiah atau kepentingan pribadi.
Kami juga menerapkan kebijakan tanpa toleransi terhadap ketidakjujuran. Jika ada karyawan yang melakukan kesalahan karena kurang hati-hati, seperti kegagalan di proses pekerjaan yang memakan biaya besar, kami masih bisa memaafkan dan memberikan kesempatan kedua. Tetapi, jika ada yang menyelewengkan uang atau berbohong, bahkan untuk jumlah kecil, maka hubungan kerja akan langsung dihentikan.
Saya paham, keputusan seperti ini terkadang berat, terutama jika ada rasa kasihan terhadap pelaku. Namun, saya percaya bahwa kejujuran adalah nilai yang sangat mahal. Menegakkannya dalam segala kondisi bukan hanya menjaga kepercayaan di dalam perusahaan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman dan profesional untuk semua pihak yang terlibat.
Bagaimana pandangan Anda tentang pola pikir growth mindset?
Saya percaya bahwa growth mindset adalah kunci untuk menghadapi tantangan, di mana kita berani belajar dari pengalaman dan terus bangkit untuk berkembang. Pola pikir ini mengajarkan bahwa kemampuan dan kecerdasan seseorang bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan dapat ditingkatkan melalui usaha, pembelajaran, dan ketekunan.
Dengan memiliki growth mindset, seseorang akan lebih terbuka terhadap masukan, tidak takut menghadapi kegagalan, dan selalu mencari peluang untuk belajar, baik dari keberhasilan maupun dari kesalahan. Pola pikir ini juga mendorong sikap rendah hati, karena kita memahami bahwa selalu ada ruang untuk berkembang dan memperbaiki diri.
Bagaimana penerapan growth mindset dalam diri Anda?
Dalam hidup saya, growth mindset saya terapkan dengan cara selalu mengambil pelajaran dari setiap pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang sulit. Ketika menghadapi kegagalan, saya berusaha untuk tidak putus asa, melainkan menjadikannya sebagai bahan evaluasi dan pembelajaran. Saya percaya bahwa kesuksesan tidak datang begitu saja, melainkan merupakan hasil dari kerja keras, inovasi, dan sikap pantang menyerah.
Saya juga berusaha untuk selalu berpikir positif kepada Allah. Ketika diuji, saya meyakini bahwa bersama setiap kesulitan ada kemudahan. Dan jika kita mendapat ujian yang besar, berarti Allah percaya bahwa kita mampu dengan adanya ujian tersebut, menjadikan saya lebih bertumbuh ke arah yang lebih baik. Sikap ini membantu saya tetap tenang, berserah, namun tetap bertindak—karena saya percaya bahwa Allah menolong mereka yang terus berikhtiar.
Bagi saya, pertolongan Allah itu harus diusahakan. Ia tidak datang begitu saja, tapi lahir dari niat yang tulus, kerja keras yang konsisten, dan kejujuran dalam setiap langkah. Prinsip ini saya pegang teguh, bahkan ketika pernah mengalami kegagalan atau kehilangan besar dalam hidup dan bisnis. Saya memilih untuk bangkit, belajar dari yang sudah, dan bergerak maju.
Seperti pepatah yang saya pegang: baraja ka nan manang, mancontoh ka nan sudah—mengambil pelajaran dari keberhasilan maupun kegagalan untuk terus memperbaiki diri.
Dengan cara ini, saya yakin bisa terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain. Karena bagi saya, growth mindset bukan sekadar tentang percaya diri untuk belajar, tapi juga keyakinan penuh bahwa pertolongan-Nya selalu dekat bagi mereka yang bersungguh-sungguh.
Apa saja core value yang Anda genggam erat sebagai seorang pebisnis?
Sebagai seorang pebisnis, core value yang saya pegang erat adalah lima nilai yang menjadi pedoman hidup saya, yaitu Ketuhanan, Kepedulian, Kerendahan Hati, Ketangguhan, dan Inovasi. Nilai-nilai ini bukan sekadar prinsip kerja, melainkan bagian dari hidup saya yang telah tertanam sejak kecil.
Nilai-nilai ini saya dapatkan dari didikan kedua orang tua dan juga nenek saya, yang tanpa saya sadari menjadi landasan penting dalam kehidupan pribadi dan bisnis saya. Ketuhanan, mengajarkan saya untuk selalu bersandar pada Allah dalam setiap langkah. Kepedulian, memotivasi saya untuk memperhatikan orang lain, terutama karyawan dan pelanggan.
Kerendahan Hati, mengingatkan saya untuk selalu terbuka terhadap masukan dan terus belajar. Ketangguhan, menjadi kunci dalam menghadapi setiap tantangan. Kemudian Inovasi, memastikan saya terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Kelima nilai ini tidak saya tuliskan besar-besar di dinding kantor, tetapi hidup dan berjalan secara alami dalam setiap aktivitas perusahaan kami dan saya beserta keluarga selalu berusaha untuk menanamkan nilai ini ke dalam sistem kerja Paragon.
Saya percaya, nilai-nilai ini adalah warisan terbaik yang bisa saya bawa dalam perjalanan hidup dan usaha saya, sekaligus menjadi pijakan untuk menciptakan dampak yang lebih luas bagi masyarakat.
Bagaimana cara Anda agar core value tersebut bisa juga diadopsi oleh seluruh karyawan Paragon?
Saya percaya bahwa nilai tidak bisa hanya dideklarasikan, tetapi harus dihidupkan—melalui keteladanan dan kebersamaan. Sejak awal Paragon berdiri, saya dan keluarga membawa nilai-nilai yang kami pegang dalam kehidupan sehari-hari ke dalam perusahaan. Mulai dari kejujuran, kepedulian, ketangguhan, hingga semangat inovasi. Nilai-nilai itu tumbuh menjadi core values Paragon, yaitu Ketuhanan, Kepedulian, Kerendahan Hati, Ketangguhan, dan Inovasi.
Agar nilai-nilai ini dapat diadopsi oleh seluruh Paragonian, kami menjadikannya sebagai napas dari segala aktivitas—bukan hanya disampaikan dalam kata-kata, tapi diwujudkan dalam sistem, budaya, dan tindakan nyata. Salah satu pendekatan utamanya adalah melalui role modeling, di mana para pemimpin di semua lini organisasi menunjukkan implementasi nilai-nilai tersebut dalam keseharian mereka—baik saat mengambil keputusan, memimpin tim, maupun saat menghadapi tantangan.
Kami percaya bahwa nilai akan lebih mudah dihayati jika ditunjukkan secara konsisten oleh para leader, bukan hanya diajarkan secara formal. Ketika nilai-nilai itu hadir dalam perilaku, bukan hanya dalam narasi, maka mereka akan menjadi budaya yang mengakar kuat dalam setiap individu di Paragon.
Lebih dari itu, kami percaya bahwa nilai akan semakin kuat jika setiap orang merasakannya sebagai miliknya. Karena itu, kami melibatkan Paragonian dalam berbagai aktivitas yang merefleksikan nilai-nilai tersebut—baik melalui kegiatan pembelajaran, inovasi, hingga aksi sosial dan pemberdayaan.
Kami ingin setiap orang merasa bahwa mereka bukan sekadar bekerja, tapi sedang ikut membangun kebermanfaatan.
Dan yang paling penting: semua ini kami dasari dengan niat yang tulus untuk terus mengusahakan pertolongan Allah. Kami percaya bahwa ketika kita membangun budaya yang berorientasi pada kebaikan dan kebermaknaan, maka Allah akan menolong dan menjaga langkah kita.
Itulah sebabnya saya selalu meyakini, membangun nilai bukan hanya tugas manajemen, tapi amanah spiritual. Ketika nilai itu hidup di hati setiap individu, maka insyaAllah, keberkahan dan kebermanfaatan akan mengikuti.