Mengutip dari Kominfo pada Rabu (24/04/2024), peniliti Center For Digital Society (CFDS) UGM Dewa Ayu Diah A mengatakan bahwa penetrasi peningkatan penetrasi TIK bisa mencapai tiga kali lipat hanya dalam waktu tidak sampai satu dekade.
"Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 menunjukkan kepemilikan telepon genggam di Indonesia sebanyak 355 juta, dan jumlah pengguna internet sebanyak 171 juta jiwa. Jika melihat ke belakang pada tahun 2010 angka penetrasi internet Indonesia hanya 50 juta jiwa," terangnya.
Baca Juga: Bangkitkan Minat Baca Generasi Z dengan Literasi Digital, Gimana Caranya?
Kemudian, faktor komersialisasi data juga perlu menjadi pertimbangan lantaran Presiden Joko Widodo pernah mengeluarkan pernyataan 'data is a new oil'. Hal tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Bila dicermati, deretan 10 orang terkaya dunia versi Majalah Forbes, pasti di antaranya ada deretan nama-nama CEO digital media.
Derasnya arus informasi menjadi faktor selanjutnya, dengan terjadinya transformasi digital tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak juga disinformasi yang beredar. Disinformasi dapat ditemui pada segala sektor, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, bahkan kesehatan.
Lebih lanjut, literasi digital juga penting karena perkembangan teknologi yang semakin cepat. Pada dasarnya teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia, tetapi dalam pemanfaatannya juga menuntut kecakapan penggunanya.
Faktor terakhir peluang pemberdayaan masyarakat seperti aspek ekonomi dan sosial. Aspek ekonomi mengacu pada peningkatan aset dan penghasilan, sedangkan aspek sosial mengacu pada peningkatan pengetahuan dan kapabilitas pengguna internet.
Namun salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia ialah masih adanya kesenjangan atas akses informasi melalui teknologi digital, terutama bagi masyarakat yang hidup pada garis kemiskinan, tinggal di pedesaan, berusia lanjut, dan penyandang disabilitas.
“Masalah yang ada, yaitu belum meratanya tingkat adopsi TIK di Indonesia, belum berimbang antara masyarakat yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan,” terang Diah.
Pada survey APJII pada tahun 2017 menggambarkan angka penetrasi internet di perkotaan dan pedesaan ialah 72,41% vs 48,25%. Sedangkan mayoritas pengguna berada pada rentang usia 15 – 19 tahun, dan hanya 16,2% yang berusia di atas 60 tahun.
Tantangan lainnya ialah berdasarkan data dari Japelidi pada tahun 2018 pendidikan literasi digital mayoritas masih dilaksanakan pada level perguruan tinggi. Padahal mayoritas pengguna aktif internet tidak hanya ada pada perguruan tinggi.
Kesempatan yang tidak berimbang ini seringkali disebut dengan kesenjangan digital. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesenjangan digital ialah usia, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan.
"Premisnya semakin tua seseorang, semakin rendah tingkat pendidikan dan penghasilan maka semakin kecil peluangnya dari optimasi pemanfaatan teknologi termasuk literasi digital,” papar Diah.
Oleh karena itu, pemerintah dan stakeholder terkait perlu sama-sama meningkatkan kembali suatu program literasi digital untuk menghempaskan kesenjangan digital di Indonesia.