Pemerintah Indonesia berkomitmen melakukan transisi energi sebagai langkah menyelamatkan bumi di masa mendatang juga sekaligus sebagai upaya menjaga keberlangsungan ekosistem makhluk hidup di planet ini. Transisi energi merupakan agenda global yang sedang diupayakan berbagai negara di dunia.
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling sungguh-sungguh mengebut agenda ini, buktinya persoalan itu sampai dibawa ke meja perundingan saat pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali 2022, isu itu diusung Indonesia untuk dibicarakan bersama sejumlah pimpinan dunia.
Transisi energi adalah proses mengubah penggunaan sumber energi berbasis fosil dan tidak ramah lingkungan menjadi penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan seperti panel surya, air, panas bumi, dan angin.
Baca Juga: Menerka Hubungan Jokowi-Megawati Pasca Pilpres 2024
Kalau agenda ini mulus berjalan sesuai rencana, maka Indonesia bisa sampai pada target net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060.
Supaya lebih jelas, nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap bumi sehingga tidak ada emisi yang menguap ke atmosfer dan bisa memicu pemanasan global.
Keseriusan pemerintah Indonesia mendorong transisi energi tidak hanya ditunjukan lewat sikap antusias pada KTT G20 di Bali dua tahun lalu, namun niat itu dibuktikan lewat sejumlah peraturan yang dianggap bisa mendorong percepatan transisi energi.
Tengkok saja, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan untuk menyukseskan agenda ini, misalnya saja Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
PP Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan Perpres Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Lalu Undang-Undang Nomor 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change dan satu lagi peraturan yang sedang digodok saat ini adalah Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) alas hukum ini sedang dibahas pemerintah bareng DPR RI selama hampir dua tahun terakhir ini.
Keseriusan pemerintah mengebut transisi energi bukan tanpa alasan atau hanya sekedar ikut meramaikan agenda global, tetapi hal itu dilakukan karena posisi Indonesia berpotensi menjadi pusat industri hijau terbesar di dunia.
Bayangkan saja Indonesia punya Green Industrial Park di Kalimantan Utara seluas 13.000 hektar yang memanfaatkan sumber energi dari Sungai Kayan. Potensi hydro power Sungai Kayan diperkirakan 11-13 gigawatt.
Tidak hanya itu Indonesia juga bisa memanfaatkan energi panas bumi, di mana panas bumi Indonesia menjadi yang terbesar ke dua setelah Amerika Serikat.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, potensi panas bumi di Indonesia sekitar 23,4 gigawatt dengan kapasitas terpasang PLTP sebesar 2,3 gigawatt.
Baca Juga: Fenomena Gagal Ginjal pada Anak, Benarkah Jajan Berpemanis jadi Pemicu?
Energi panas bumi merupakan energi baik yang dihasilkan dari magma yang berada di dalam perut bumi daerah gunung vulkanik. Uap panas dan tekanan tinggi yang dipancarkan dari produksi kepala sumur (well head) dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap pada pembangkit listrik tenaga panas bumi atau digunakan langsung untuk mengeringkan produk pertanian.
Energi panas bumi merupakan energi bersih yang bersifat berkelanjutan jika dikelola dengan baik.
Tantangan Transisi Energi
Meski mempunyai instrumen pendukung melakukan transisi energi, namun upaya ini belum tentu berjalan mulus, ada sejumlah tantangan yang merintangi rencana ini salah satunya adalah pendanaan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengakui hal itu, soal pendanaan Indonesia memang kekurangan anggaran mendorong percepatan energi.
Demi menutupi kekurangan pendanaan, mau tidak mau pemerintah mesti menggandeng pihak swasta, hal ini telah diatur dalam RUU EBET yang masih dalam pembahasan di DPR.
RUU EBET membuka pintu seluas-luasnya bagi pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN lewat skema power wheeling.
Hanya saja pelibatan pihak swasta dalam agenda ini belakangan berpolemik karena dinilai bakal membawa berbagai dampak buruk buat negara juga masyarakat.
Selain berpotensi menimbulkan kerugian negara, skema ini juga dinilai hanya memicu kenaikan tarif listrik dan menambah beban subsidi APBN. Penerapan skema power wheeling dalam RUU EBET juga dinilai hanya melemahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan membuka pintu masuk bagi oligarki.
Selain masalah pendanaan, tantangan lain yang tak kalah berat adalah dan dukungan riset serta teknologi.
Untuk menyukseskan transisi energi perlu dukungan dan peran ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif, sehingga bisa menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru terbarukan.
Baca Juga: Anies Baswedan Sebut Nama Sohibul Iman dan Zita Anjani Masih Dibahas Jadi Cawagub Jakarta
Sayangnya Indonesia belum memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai, tapi tenang saja, demi menyukskan rencana ini, pemerintah sedang melakukan persiapan berbagai kompetensi dan keahlian dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, sehingga tersedia SDM yang unggul untuk mendukung transisi energi.
Langkah yang Ditempuh Pemerintah
Pemerintah sudah menempuh berbagai cara untuk memuluskan transisi energi, selain membangun Green Industrial Park di Kalimantan Utara seluas 13.000 hektar yang menjadi cikal bakal industri hijau terbesar di bumi. Pemerintah melalui beberapa BUMN sudah mulai mencoba berbagai alternatif pengganti batubara.
Misalnya saja lewat program Desa Berdaya Energi besutan PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI). Program CSR itu dicetus sejak awal 2013 lalu, PLN EPI mendaulat Kelurahan Gombang dan Karangasem, Gunungkidul, Yogyakarta sebagai lokasi awal memulai pilot projek desa berdaya energi.
Perusahaan pelat merah ini bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk memberdayakan masyarakat setempat membudidayakan berbagai tanaman biomassa sebagai bahan baku alternatif pengganti batu bara secara end to to end.
Penggunaan batu bara sebagai sumber energi memang membawa dampak buruk terhadap lingkungan, selain memicu kerusakan alam, batu bara juga menjadi sumber polusi udara.
Adapun berbagai tanaman alternatif pengganti batu bara yang dibudidayakan PLN EPI adalah Kaliandra merah, Gmelina, Gamal dan Indigofera yang diproyeksikan menghasilkan 300 ton biomassa setahunnya.
Selain PLN, Pertamina sebagai Perusahaan Energi Nasional dan salah satu Badan Usaha Milik Negara juga mengambil peran penting. Saat ini Pertamina sudah meningkatkan kilang Pertamina untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan, pengembangan lebih lanjut Bioenergi dalam bentuk biomassa dan bioetanol, mengoptimalkan potensi dan meningkatkan kapasitas panas bumi terpasang serta komersialisasi hidrogen.
Baca Juga: Jokowi Yakin Betul Upacara di IKN Terlaksana Lancar
Selain itu, Pertamina mengambil peran strategis dalam ekosistem baterai yang terintegrasi dan penyimpanan energi di Indonesia serta memperkuat gasifikasi terintegrasi, membantu pelanggan di sektor transportasi, rumah tangga, dan industri untuk mengurangi emisi.
Di bidang pembangkit listrik, pertamina terus meningkatkan pemanfaatan Proyek Energi Baru dan Terbarukan serta Rendah Karbon yang memungkinkan pengurangan jejak karbon. Pertamina juga terus berupaya menerapkan Carbon Capture, Utilization, and storage (CCUS) dalam peningkatan produksi beberapa ladang minyak dan gas.