Etika AI

Di tengah penggunaan AI yang semakin luas, termasuk generative AI yang memunculkan isu copyright, Rina menekankan bahwa etika adalah fondasi yang tak boleh dilupakan.

Ia mencontohkan kasus di mana IBM menolak sebuah proyek besar di Amerika Serikat. Proyek tersebut menawarkan pembuatan alat pengingat minum obat bagi lansia, menggunakan hologram anak atau cucu mereka.

“Secara bisnis itu peluang besar. Tapi secara etika, kami tidak mau. Karena itu membuat lansia percaya mesin adalah anaknya. Itu tidak benar,” tegasnya.

Menurut Rina, AI tidak boleh menyamar sebagai manusia atau menggantikan hubungan emosional keluarga.

Di level penggunaan sehari-hari pun, etika harus dijaga. Ia memberi contoh soal penggunaan ChatGPT untuk membuat email.

“Teman-teman banyak yang pakai ChatGPT untuk email. Tapi bacalah ulang. Kadang ada kalimat yang terlalu ‘flowery’, tidak natural. Itu mesin. Kita harus kritis,” ujarnya.

Ia pun kemudian menekankan pentingnya human oversight, yakni menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti keputusan manusia.

“AI membantu, tapi editing tetap harus pakai bahasa kita sendiri. Kuncinya adalah kritis, dan selalu kembalikan ke nilai-nilai manusia,” tutup Rina.

Baca Juga: AI Tidak Akan Menggantikan Peran Perempuan, Justru Menjadi Mitra dalam Pendidikan