Kabar duka menyelimuti dunia bisnis di Tanah Air. The Ning King alias Harjanto Tirtohadiguno, pendiri grup Argo Manunggal, berpulang pada usia 94 tahun di Singapura, Minggu (2/11/2025).
Kabar kepergian The Ning King ini disampaikan langsung oleh PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) melalui pernyataan resmi perusahaan kepada publik.
“Segenap Keluarga Besar Alam Sutera Group menyampaikan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Kiranya damai dan terang Kasih Kristus senantiasa menyertai dan memberi penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan," tulis akun Instagram @alam_sutera_realty, dikutip Senin (3/11/2025).
Dalam keterangan resminya, manajemen PT Alam Sutera Realty juga menyebut The Ning King sebagai sosok visioner dan inspiratif yang telah meninggalkan warisan berharga bagi industri properti nasional.
“Kami mengenang beliau sebagai sosok visioner dan inspiratif. Semoga almarhum diterima di sisi Tuhan YME dan damai kasih Kristus menyertai keluarga yang ditinggalkan. Amin,” tulisakun tersebut.
Mereka juga menyampaikan terima kasih atas perhatian dan dukungan dari berbagai pihak selama masa berduka ini.
“Kami mengucapkan terima kasih atas doa, perhatian, dan dukungan yang diberikan kepada kami di masa yang penuh kehilangan ini,” tulis pernyataan itu.
Dan, dikutip dari berbagai sumber, Senin (3/11/2025), berikut Olenka ulas profil dan kiprah almarhum The Ning King selengkapnya.
Latar Belakang dan Keluarga
Dikutip dari Tirto, The Ning King lahir di Bandung, 20 April 1931 dengan nama asli Harjanto Tirtohadiguno. Istrinya bernama Lie Ang Sioe Nio. Dari pernikahannya, The Ning King memiliki dua anak, yakni Hungkang Sutedja dan Angeline Sutedja.
Salah satu menantunya, Harjanto Tirtohadiguno (suami dari Angeline), saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Alam Sutera Realty Tbk. Sementara Hungkang Sutedja, aktif di sektor industri melalui Argo Manunggal Group dan PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk (BEST).
Dikutip dari Kompas, meskipun memiliki nama yang terkesan bangsawan, The Ning King bukan berasal dari keluarga aristokrat.
Nama ‘The’ merupakan nama marga Tionghoa, sementara seluruh kekayaannya dibangun dari hasil kerja keras dan kecerdasan bisnisnya sendiri. Karena itu, ia kerap dijuluki sebagai ‘Corporate Aristocrat’, seorang bangsawan dunia usaha yang ditempa dari nol.
Dan meskipun sudah menjadi konglomerat, semasa hidupnya The Ning King dinilai sebagai sosok low profile. Melansir Wealth-X, dalam sebuah wawancara, The Ning King bahkan pernah minta maaf karena tidak banyak bicara. Menurutnya, dia cenderung hemat bicara dan hanya melakukan pekerjaan yang harus dia lakukan.
Awal Karier dan Lahirnya Argo Manunggal Group
Perjalanan panjang The Ning King dimulai dari langkah sederhana. Dikutip dari Liputan6com, ia memulai bisnisnya di akhir tahun 1940-an sebagai pedagang tekstil di pasar tradisional.
Ketekunan dan nalurinya yang tajam terhadap peluang membuatnya mampu mengembangkan usaha kecil tersebut menjadi perusahaan tekstil besar.
Pada 1949, ia mendirikan perusahaan dagang tekstil yang menjadi cikal bakal Argo Manunggal Group. Kemudian, pada 1961, ia membangun pabrik tekstil pertamanya di Salatiga, Jawa Tengah.
Kesuksesan itu berlanjut dengan berdirinya PT Argo Pantes Tbk (ARGO) pada 1977, yang kemudian menjadi perusahaan tekstil pertama di Indonesia yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 7 Januari 1991, dikutip dari Tirto.
Kini, Argo Manunggal Group dikenal sebagai konglomerasi besar yang berbasis di Jakarta dan beroperasi di berbagai sektor strategis. Argo Manunggal kini terbagi ke dalam beberapa lini besar, di antaranya:
- Lifestyle by Argo Manunggal Group, yang menaungi Argo Pantes dan PT Argo Manunggal Triasta, beroperasi di Tangerang, Bandung, Semarang, dan Salatiga
- Industrial by Argo Manunggal (IAM), holding yang membawahi PT Cakra Steel (Cakrasteel), Pralon, dan Fumira, produsen material konstruksi nasional yang distribusinya telah menjangkau lebih dari 100 kota di Indonesia
- Di sektor industri dan kawasan logistik, grup ini juga sempat mengendalikan PT Mega Manunggal Property Tbk (MMLP), yang mengelola proyek seperti Intirub Halim Business Park, Unilever West Distribution Center, dan Cibatu Warehouse, sebelum akhirnya dijual ke Astra International (ASII).
Dikutip dari Okezone Finance, The Ning King telah mendirikan lebih dari 40 pabrik dan usaha patungan, serta mempekerjakan lebih dari 35.000 karyawan di seluruh Indonesia. Skala dan ketahanan grup bisnisnya mencerminkan sosok pengusaha yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga pada pembangunan ekonomi nasional.
Baca Juga: Mengenang The Ning King: Sosok Low Profile di Balik Megahnya Alam Sutera
Pencipta Kota Mandiri Alam Sutera
Langkah terbesar The Ning King datang pada awal 1990-an, ketika ia memperluas bisnis ke sektor properti. Pada 1993, ia bersama menantunya Haryanto Tirtohadiguno dan anaknya Angeline Sutedja, mendirikan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), pengembang kawasan terpadu di Serpong, Tangerang.
Proyek perdananya, Alam Sutera Township, diluncurkan pada 1994 di atas lahan 800 hektare dan mencatat rekor penjualan lebih dari 1.100 unit dalam dua minggu, dikutip dari Tirto.
Konsep kota mandiri yang memadukan hunian, komersial, pendidikan, dan ruang hijau menjadikan Alam Sutera sebagai salah satu pelopor township modern di Indonesia.
Dikutip dari situs resmi perusahaan, Alam Sutera kini berkembang menjadi salah satu kawasan premium di Jabodetabek, dengan tata kelola lingkungan modern dan berorientasi pada kenyamanan hidup.
Perusahaan resmi melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2007, dan melanjutkan ekspansi ke proyek-proyek besar seperti Suvarna Sutera (2.600 hektare) di Tangerang, Mall @Alam Sutera, Flavor Bliss, dan Pasar 8, serta proyek ikonik Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali.
Kini, Alam Sutera dikenal sebagai salah satu kawasan premium di Jabodetabek dengan lebih dari 37 klaster perumahan, apartemen modern seperti Paddington Heights dan EleVee Penthouses, serta gedung-gedung komersial megah seperti The Tower dan Synergy Building.
Dikutip dari Okezone, sSelain Alam Sutra, The Ning King juga mendirikan perusahaan PT Bekasi Fajar Industrial Estate, dan menjadi pemegang mayoritas 64% saham. Perusahaan dengan kode BEST di pasar modal didirikan pada tanggal 24 Agustus 1989 bersama dengan Marubeni Corporation (Jepang).
Perseroan membentuk perusahaan patungan dengan nama PT Megalopolis Manunggal Industrial Development (MMID), mengembangkan dan merintis kawasan industri di daerah Cikarang Barat, Bekasi, yang dikenal dengan Kota Industri MM2100.
BEST fokus menyediakan kavling siap bangun untuk kebutuhan industri yang dilengkapi berbagai infrastruktur dan fasilitas lainnya. Membangun dan mengelola sarana dan prasarana meliputi pelayanan kepada penghuni kawasan industri.
Kekayaan
Dikutip dari Forbes, The Ning King sempat masuk dalam daftar 50 Orang Terkaya di Indonesia pada 2017 dengan kekayaan mencapai US$450 juta atau sekitar Rp6 triliun (kurs Rp14.000).
Kekayaannya sebagian besar berasal dari sektor properti, yang berkembang pesat sejak berdirinya Alam Sutera dan ekspansi Argo Manunggal Group.
Dan, menurut data MarketScreener, keluarga The Ning King masih memegang hampir separuh saham PT Alam Sutera Realty Tbk, menjadikannya salah satu keluarga dengan pengaruh besar di industri properti nasional.
Warisan dan Penghormatan
Dalam perjalanan lebih dari tujuh dekade, The Ning King dikenal sebagai sosok low-profile, namun berwawasan luas yang mampu membaca perubahan arah ekonomi Indonesia, dari manufaktur menuju urban development.
Dikutip dari Kompas, kontribusinya mencerminkan transformasi luar biasa terhadap lanskap ekonomi Indonesia, dari produsen kain di Jawa Tengah hingga menjadi arsitek pembangunan kota modern di pinggiran Jakarta.
Melalui kepemimpinannya, Argo Manunggal Group bukan hanya menjadi konglomerasi bisnis besar, tetapi juga simbol ketekunan dan visi jangka panjang seorang self-made man.
Baca Juga: Mengenang Sosok Kartini Muljadi, Perempuan Visioner di Balik Kerajaan Tempo Scan