Dalam upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi emisi karbon, bioetanol muncul sebagai salah satu solusi energi terbarukan yang paling menjanjikan.
Bioetanol sendiri adalah etanol yang diproduksi melalui fermentasi bahan organik. Tak seperti etanol yang berasal dari minyak bumi, bioetanol diproduksi dari tanaman yang dapat diperbarui.
Umumnya, bioetanol berasal dari tanaman energi seperti jagung, gandum, atau limbah pertanian lainnya. Ini menjadikannya sumber energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Bioetanol juga digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk bahan bakar alternatif, industri transportasi, hingga industri kimia. Bioetanol juga dapat digunakan sebagai energi listrik, pembuatan produk kosmetik hingga produksi obat-obatan. Namun, perlu diketahui bahwa biaya dalam menghasilkan bioetanol sebagai sumber energi relatif tinggi jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, pun mendorong penggunaan bioetanol sebagai campuran pada Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin. Terutama, melalui implementasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (biofuel).
Erick juga menilai, penggunaan bioetanol sebagai bahan baku campuran BBM jenis bensin menjadi solusi dalam menekan impor produk BBM yang selama ini membuat keuangan negara menjadi boncos.
Lantas, apa saja manfaat dan bagaimana progres implementasi bioetanol di Tanah Air? Berikut Olenka ulas pembahasan tentang serba-serbi bioetanol sebagaimana dikutip dari berbagai sumber.
Baca Juga: Rencana Pemerintah Dorong Bioavtur, Manfaatkan Kelapa Jadi Bahan Bakar Pesawat Terbang
Perbedaan Bioetanol dan Biodiesel
Sama seperti biodiesel, bioetanol juga menjadi bahan bakar alternatif yang dicampur dengan energi yang bersumber dari nabati. Lantas apa perbedaan antara bioetanol dan biodiesel?
Bioetanol sendiri merupakan salah satu bentuk energi terbarukan yang dapat diproduksi dari tumbuhan. Untuk karakteristik, bioetanol memiliki ciri-ciri mudah menguap, mudah terbakar, dapat larut di dalam air, tidak beracun, dan tidak berdampak negatif pada lingkungan.
Bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi bisa memiliki berbagai macam kadar, seperti dikutip dari laman resmi UGM.
Bioetanol dengan kadar 90-94 persen disebut tingkat industri. Apabila bioetanol yang diperoleh berkadar 94-99,5 persen maka disebut bioetanol tingkat netral yang secara umum dipakai untuk campuran minuman keras. Ada juga bioetanol tingkat bahan bakar. Kadar bioetanol tingkat ini sangat tinggi, minimal 99,5 persen.
Penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas CO secara signifikan. Bioetanol bisa dipakai langsung sebagai BBM atau dicampurkan ke dalam premium sebagai aditif dengan perbandingan tertentu (Gasohol atau Gasolin alcohol), jika dicampurkan ke bensin maka bioetanol bisa meningkatkan angka oktan secara signifikan.
Sementara itu, biodiesel juga dikenal dengan nama biosolar, yang mana pengolahan minyak nabati merupakan bahan utama dalam pembuatan diesel yang diimplementasikan dengan komposisi khusus.
Bahan bakar ini digabung dengan minyak solar dan dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk mobil dan dan armada industri dengan mesin diesel. Dalam proses pembuatannya, biodiesel menggunakan bahan baku seperti minyak sawit mentah (Crude Palm Oil), minyak nyamplung, minyak jarak, minyak kelapa, Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan minyak ikan. Selain itu, biodiesel ini juga dapat digunakan pada mesin diesel tanpa harus dimodifikasi.
Mengutip laman EBTKE ESDM, proses pembuatan biodiesel umumnya menggunakan reaksi metanolisis (transesterifikasi dengan metanol) yaitu reaksi antara minyak nabati dengan metanol dibantu katalis basa (NaOH, KOH, atau sodium methylate) untuk menghasilkan campuran ester metil asam lemak dengan produk ikutan gliserol.
Baca Juga: Mengulik Rencana Peluncuran BBM Jenis Baru yang Rendah Sulfur
Manfaat Bioetanol
Karena berasal dari bahan alami alias tanaman yang dapat diperbarui, bioetanol memiliki keunggulan seperti mudah terurai secara alami, toksisitas rendah, dan jejak karbon yang lebih kecil daripada bahan bakar fosil.
Dikutip dari Energy Systems Research Unit University of Strathclyde Glasgow, beberapa manfaat bioetanol ini antara lain adalah sebagai berikut.
1. Sumber daya terbarukan: Bioetanol diproduksi dari tanaman yang dapat diperbarui setiap tahun. Ini berarti bahwa, tidak seperti minyak bumi, sumber bahan baku untuk bioetanol tidak akan habis selama kita terus menanam tanaman. Selama dikelola dengan tepat, tanaman yang digunakan sebagai bahan baku bioetanol dapat tumbuh dengan baik.
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar sendiri dapat mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, yang sering kali diimpor dari negara-negara dengan kondisi geopolitik yang tidak stabil.
2. Mengurangi emisi gas rumah kaca: Salah satu manfaat utama bioetanol adalah pengurangan emisi gas rumah kaca. Bioetanol menghasilkan lebih sedikit karbon dioksida dibandingkan dengan bahan bakar fosil, karena karbon yang dilepaskan selama pembakaran bioetanol awalnya diserap oleh tanaman selama proses fotosintesis
Penggunaan bioetanol membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama dari sektor transportasi yang merupakan penyumbang utama emisi tersebut. Tanaman yang digunakan sebagai bahan bakar bioetanol menyerap karbon dioksida selama pertumbuhannya, sehingga membantu mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer.
3. Manfaat ekonomi: Produksi bioetanol dapat menciptakan industri baru dan peluang kerja, terutama untuk daerah pedesaan. Selain itu, produksi bioetanol juga dapat memberikan peluang ekonomi bagi petani dan komunitas pedesaan dengan menciptakan permintaan baru untuk tanaman energi.
4. Mudah diintegrasikan: Bioetanol dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam infrastruktur bahan bakar transportasi darat yang sudah ada. Selain itu, kendaraan dapat menggunakan campuran bioetanol dengan bensin tanpa perlu modifikasi mesin.
5. Keamanan energi: Penggunaan bioetanol dapat mengurangi ketergantungan pada minyak bumi impor sehingga meningkatkan keamanan energi suatu negara.
Baca Juga: Mengulik Kesiapan Pelaksanaan Mandatori Biodiesel B40, Kapan Terealisasi?
Proses Produksi Bioetanol
Secara umum, bioetanol adalah jenis alkohol yang diproduksi dari berbagai bahan baku alami seperti jagung, tebu, gandum, atau bahkan rumput laut.
Dan, melansir laman solarindustri.com, proses pembuatan bioetanol terbagi menjadi lima tahapan, yaitu persiapan bahan baku, liquifikasi, sakarifikasi, fermentasi, dan destilasi. Adapun, detail tahapan pembuatan bioetanol ini antara lain:
1. Persiapan Bahan Baku
Pilih tumbuhan yang mengandung karbohidrat seperti tebu, jagung, gandum, atau biomassa lainnya seperti jerami, bagasse, atau limbah pertanian. Pastikan bahan baku berkualitas baik dan dalam kondisi yang segar.
2. Liquifikasi
Proses liquefaction (pencairan) dalam pembuatan bioethanol adalah tahap awal di mana bahan baku yang mengandung pati kompleks diubah menjadi pati cair atau gula sederhana yang dapat difermentasi menjadi etanol. Proses ini merupakan tahap penting dalam mempersiapkan bahan baku seperti jagung atau biji-bijian untuk menghasilkan bioethanol.
3. Sakarifaksi
Proses sakarifikasi adalah langkah penting dalam pembuatan bioetanol yang melibatkan konversi pati atau polisakarida kompleks menjadi gula-gula sederhana, seperti glukosa. Gula-gula sederhana ini akan menjadi bahan baku bagi proses fermentasi selanjutnya untuk menghasilkan bioethanol.
4. Fermentasi
Proses ini merupakan langakah kunci dalam pembuatan bioetanol. Proses ini mengubah gula yang terdapat dalam bahan baku menjadi etanol dengan bantuan mikroorganisme, terutama ragi (Saccharomyces cerevisiae).
5. Destilasi
Proses destilasi adalah proses pemisahan etanol dari campuran hasil fermentasi dan memperoleh etanol yang lebih murni. Destilasi sendiri adalah proses fisika di mana campuran cair (misalnya campuran etanol dan air) dipisahkan berdasarkan perbedaan titik didih komponen-komponennya.
Baca Juga: Program Mandatori Biodiesel Untungkan Masyarakat Indonesia
Inovasi Pertamina: Bioetanol dari Sorgum
Pertamina menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan dan memanfaatkan bioenergi ramah lingkungan. Dalam ajang GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024 lalu, Pertamina berkolaborasi dengan Toyota untuk melakukan pengisian perdana dan test drive penggunaan Bioetanol 100% yang bersumber dari batang tanaman Sorgum.
Pada test drive yang dilakukan di GIIAS 2024, Bioethanol 100% (E100) yang diproduksi dari tanaman Sorgum, digunakan sebagai bahan bakar alternatif pada kendaraan Flex Fuel Vehicle (FFV) Toyota.
Untuk mengadakan test drive di GIIAS 2024, Pertamina telah memproduksi sebanyak 150 liter Bioetanol yang diproduksi dari ampas biomasa, yaitu batang tanaman Sorgum.
Senior Vice President Research & Technology Innovation PT Pertamina (Persero), Oki Muraza, mengatakan, produksi bioetanol dari batang sorgum ini tidak hanya menjadi sumber energi baru terbarukan untuk Indonesia, tetapi juga merupakan inovasi yang memproduksi bahan bakar tanpa berkompetisi dengan bahan pangan.
“Dengan memproduksi Bioetanol dari Sorgum tidak hanya menjadi sumber energi baru terbarukan untuk Indonesia. Tetapi juga inovasi ini memproduksi bahan bakar tanpa berkompetisi dengan bahan pangan, dapat membuka lapangan pekerjaan dan usaha kecil menengah baru di sektor perkebunan Sorgum, pengolahan Nira, dan pengolahan Bioethanol,” tutur Oki.
Langkah Pertamina selanjutnya, ungkap Oki, adalah melakukan peningkatan produksi Bioetanol dari skala laboratorium ke skala yang lebih besar. Selain itu, Pertamina menjajaki kemitraan untuk mendapatkan ketersediaan suplai Sorgum dan bahan nabati lainnya.
Oki mengatakan, bioetanol menawarkan solusi yang menjanjikan untuk masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Meskipun ada tantangan yang perlu diatasi, inovasi teknologi dan dukungan kebijakan dapat membantu memaksimalkan potensi bioetanol sebagai sumber energi utama.
Dan, untuk mengatasi tantangan yang ada dan memaksimalkan potensi bioetanol, Pertamina pun tengah mengembangkan berbagai inovasi bioetanol. Beberapa di antaranya meliputi:
1. Penggunaan Bahan Baku Selulosa: Penelitian sedang dilakukan untuk memanfaatkan bahan baku selulosa, seperti rumput dan limbah pertanian, yang tidak bersaing langsung dengan pangan. Ini dapat meningkatkan keberlanjutan produksi bioetanol.
2. Bioteknologi dan Mikroorganisme: Pengembangan mikroorganisme yang lebih efisien untuk proses fermentasi dapat meningkatkan hasil produksi bioetanol dan mengurangi biaya.
3. Peningkatan Efisiensi Proses: Teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi proses distilasi dan pemurnian sedang dikembangkan. Ini termasuk penggunaan energi terbarukan untuk mengurangi jejak karbon dari produksi bioetanol.
4. Kebijakan dan Insentif Pemerintah: Dukungan kebijakan dan insentif dari pemerintah sangat penting untuk mendorong adopsi bioetanol. Ini bisa mencakup subsidi untuk produksi, insentif pajak, dan regulasi yang mendukung penggunaan bahan bakar terbarukan.
Baca Juga: Mengulik Kesiapan Pelaksanaan Mandatori Biodiesel B40, Kapan Terealisasi?
Tantangan Program Implementasi Bioetanol di RI
Rencana pemerintah menggunakan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol sebagai campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak kunjung terealisasi. Padahal sudah banyak regulasi yang disiapkan, namun hasilnya masih nol.
“Program campuran bioetanol untuk BBM sendiri sejatinya sudah ada. Namun sayang, sampai saat ini pencapaian masih nihil, padahal pada 2025 ditargetkan Indonesia sudah capai bioetanol 20%,” tutur Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, Jumat (5/7/2024).
Eniya pun mengakui, implementasi program bahan bakar campuran bioetanol 5 persen pada bensin atau E5 meleset dari target yang ditetapkan. Seharusnya, sesuai dengan peta jalan pengembangan bioetanol, penerapan E5 sudah dimulai pada 2020. Penerapannya terus dikembangkan hingga pada tahun 2025 mencapai pencampuran bioetanol 20 persen.
Eniya menjelaskan, kondisi tersebut karena Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Beberapa di antaranya terkait masalah keterbatasan bahan baku dan variasi bahan baku untuk memproduksi bioetanol, tinggi dan fluktuatifnya harga bahan baku, hingga tidak adanya mekanisme insentif untuk menutupi selisih harga indeks pasar dari bioetanol dengan bensin.
Eniya pun menilai, penerapan bioetanol 10 persen masih berat. Pasalnya, hingga saat ini industri dalam negeri hanya mampu memproduksi bioetanol sebanyak 40.000 kiloliter (kl). Hal tersebut tidak terlepas dari minimnya produsen etanol yang dapat memproduksi etanol sesuai dengan kriteria untuk diolah menjadi bahan bakar atau etanol fuel grade. Dari 13 produsen etanol di Indonesia, baru dua produsen saja yang memenuhi kriteria fuel grade.
Dari segi penerapan dan penyaluran bioetanol di Indonesia, Kementerian ESDM pun mengidentifikasi setidaknya dua tantangan. Plt Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa tantangan pertama adalah nilai keekonomian dari bioetanol. Dan kedua, keterbatasan persediaan bahan baku dari bioetanol.
“Hal yang menjadi isu saat ini adalah penerapanya, terutama terkait dengan keekonomian dan juga terbatasnya ketersediaan bahan baku,” ujar Dadan, sebagaimana dikutip Bloomberg Technoz.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengatakan, pemerintah tengah melakukan perhitungan untuk memberikan subsidi kepada bahan bakar bioetanol.
Namun, ia tidak menjelaskan dengan gamblang apakah bioetanol bakal digunakan untuk mengganti bahan bakar minyak (BBM) Pertalite atau Pertamax. Luhut hanya bilang, peralihan dari Pertalite ke bioetanol menjadi target pemerintah untuk menyelesaikan masalah polusi udara.
“Nanti kita lihat dahulu (untuk pengganti Pertalite atau Pertamax). Harus ke sana larinya (etanol dicampur dengan Pertalite). Ya, tetap kita subsidi (BBM bioethanol), lagi kita hitung supaya targetnya yang kita subsidi adalah orang yang pantas disubsidi,” beber Luhut, Jumat (3/5/2024).
Baca Juga: Mendorong Program Biodiesel Jadi Akselerator Peningkatan Pendapatan dan Kesejahteraan Petani