Inovasi Pertamina: Bioetanol dari Sorgum
Pertamina menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan dan memanfaatkan bioenergi ramah lingkungan. Dalam ajang GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024 lalu, Pertamina berkolaborasi dengan Toyota untuk melakukan pengisian perdana dan test drive penggunaan Bioetanol 100% yang bersumber dari batang tanaman Sorgum.
Pada test drive yang dilakukan di GIIAS 2024, Bioethanol 100% (E100) yang diproduksi dari tanaman Sorgum, digunakan sebagai bahan bakar alternatif pada kendaraan Flex Fuel Vehicle (FFV) Toyota.
Untuk mengadakan test drive di GIIAS 2024, Pertamina telah memproduksi sebanyak 150 liter Bioetanol yang diproduksi dari ampas biomasa, yaitu batang tanaman Sorgum.
Senior Vice President Research & Technology Innovation PT Pertamina (Persero), Oki Muraza, mengatakan, produksi bioetanol dari batang sorgum ini tidak hanya menjadi sumber energi baru terbarukan untuk Indonesia, tetapi juga merupakan inovasi yang memproduksi bahan bakar tanpa berkompetisi dengan bahan pangan.
“Dengan memproduksi Bioetanol dari Sorgum tidak hanya menjadi sumber energi baru terbarukan untuk Indonesia. Tetapi juga inovasi ini memproduksi bahan bakar tanpa berkompetisi dengan bahan pangan, dapat membuka lapangan pekerjaan dan usaha kecil menengah baru di sektor perkebunan Sorgum, pengolahan Nira, dan pengolahan Bioethanol,” tutur Oki.
Langkah Pertamina selanjutnya, ungkap Oki, adalah melakukan peningkatan produksi Bioetanol dari skala laboratorium ke skala yang lebih besar. Selain itu, Pertamina menjajaki kemitraan untuk mendapatkan ketersediaan suplai Sorgum dan bahan nabati lainnya.
Oki mengatakan, bioetanol menawarkan solusi yang menjanjikan untuk masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Meskipun ada tantangan yang perlu diatasi, inovasi teknologi dan dukungan kebijakan dapat membantu memaksimalkan potensi bioetanol sebagai sumber energi utama.
Dan, untuk mengatasi tantangan yang ada dan memaksimalkan potensi bioetanol, Pertamina pun tengah mengembangkan berbagai inovasi bioetanol. Beberapa di antaranya meliputi:
1. Penggunaan Bahan Baku Selulosa: Penelitian sedang dilakukan untuk memanfaatkan bahan baku selulosa, seperti rumput dan limbah pertanian, yang tidak bersaing langsung dengan pangan. Ini dapat meningkatkan keberlanjutan produksi bioetanol.
2. Bioteknologi dan Mikroorganisme: Pengembangan mikroorganisme yang lebih efisien untuk proses fermentasi dapat meningkatkan hasil produksi bioetanol dan mengurangi biaya.
3. Peningkatan Efisiensi Proses: Teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi proses distilasi dan pemurnian sedang dikembangkan. Ini termasuk penggunaan energi terbarukan untuk mengurangi jejak karbon dari produksi bioetanol.
4. Kebijakan dan Insentif Pemerintah: Dukungan kebijakan dan insentif dari pemerintah sangat penting untuk mendorong adopsi bioetanol. Ini bisa mencakup subsidi untuk produksi, insentif pajak, dan regulasi yang mendukung penggunaan bahan bakar terbarukan.
Baca Juga: Mengulik Kesiapan Pelaksanaan Mandatori Biodiesel B40, Kapan Terealisasi?
Tantangan Program Implementasi Bioetanol di RI
Rencana pemerintah menggunakan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol sebagai campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak kunjung terealisasi. Padahal sudah banyak regulasi yang disiapkan, namun hasilnya masih nol.
“Program campuran bioetanol untuk BBM sendiri sejatinya sudah ada. Namun sayang, sampai saat ini pencapaian masih nihil, padahal pada 2025 ditargetkan Indonesia sudah capai bioetanol 20%,” tutur Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, Jumat (5/7/2024).
Eniya pun mengakui, implementasi program bahan bakar campuran bioetanol 5 persen pada bensin atau E5 meleset dari target yang ditetapkan. Seharusnya, sesuai dengan peta jalan pengembangan bioetanol, penerapan E5 sudah dimulai pada 2020. Penerapannya terus dikembangkan hingga pada tahun 2025 mencapai pencampuran bioetanol 20 persen.
Eniya menjelaskan, kondisi tersebut karena Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Beberapa di antaranya terkait masalah keterbatasan bahan baku dan variasi bahan baku untuk memproduksi bioetanol, tinggi dan fluktuatifnya harga bahan baku, hingga tidak adanya mekanisme insentif untuk menutupi selisih harga indeks pasar dari bioetanol dengan bensin.
Eniya pun menilai, penerapan bioetanol 10 persen masih berat. Pasalnya, hingga saat ini industri dalam negeri hanya mampu memproduksi bioetanol sebanyak 40.000 kiloliter (kl). Hal tersebut tidak terlepas dari minimnya produsen etanol yang dapat memproduksi etanol sesuai dengan kriteria untuk diolah menjadi bahan bakar atau etanol fuel grade. Dari 13 produsen etanol di Indonesia, baru dua produsen saja yang memenuhi kriteria fuel grade.
Dari segi penerapan dan penyaluran bioetanol di Indonesia, Kementerian ESDM pun mengidentifikasi setidaknya dua tantangan. Plt Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa tantangan pertama adalah nilai keekonomian dari bioetanol. Dan kedua, keterbatasan persediaan bahan baku dari bioetanol.
“Hal yang menjadi isu saat ini adalah penerapanya, terutama terkait dengan keekonomian dan juga terbatasnya ketersediaan bahan baku,” ujar Dadan, sebagaimana dikutip Bloomberg Technoz.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengatakan, pemerintah tengah melakukan perhitungan untuk memberikan subsidi kepada bahan bakar bioetanol.
Namun, ia tidak menjelaskan dengan gamblang apakah bioetanol bakal digunakan untuk mengganti bahan bakar minyak (BBM) Pertalite atau Pertamax. Luhut hanya bilang, peralihan dari Pertalite ke bioetanol menjadi target pemerintah untuk menyelesaikan masalah polusi udara.
“Nanti kita lihat dahulu (untuk pengganti Pertalite atau Pertamax). Harus ke sana larinya (etanol dicampur dengan Pertalite). Ya, tetap kita subsidi (BBM bioethanol), lagi kita hitung supaya targetnya yang kita subsidi adalah orang yang pantas disubsidi,” beber Luhut, Jumat (3/5/2024).
Baca Juga: Mendorong Program Biodiesel Jadi Akselerator Peningkatan Pendapatan dan Kesejahteraan Petani