6. The Last Queen karya Chitra Banerjee Divakaruni

Rani Jindan Kaur, ratu terakhir Punjab yang gigih, menolak untuk menghilang begitu saja dalam sejarah. Divakaruni membangun potret yang indah tentang kebangkitan, pembangkangan, dan pengasingannya. Maharaja Ranjit Singh mungkin menjadi katalisator, tetapi Jindan-lah yang membentuk kembali struktur kekuasaan.

Ia memiliki kecerdasan, pesona, dan kecakapan politik, menjadikan pria di sekitarnya sebagai alat atau ancaman. Kisahnya adalah kisah feminis yang merayakan kedaulatan yang direbut kembali dari kendali patriarki.

7. Welcome Home karya Najwa Zebian

Kumpulan prosa dan puisi ini mengungkap batasan emosional, harga diri, dan penyembuhan dari trauma. Zebian menyapa pembaca dengan suara lembut dan meyakinkan, mengubah rasa sakit menjadi pemberdayaan.

Pria hanya muncul sebagai gema pengkhianatan atau kehilangan. Namun, sorotan tetap pada perjalanan pembicara untuk membangun rumah di dalam dirinya sendiri. Ini adalah peta jalan yang intim bagi mereka yang belajar menghargai kebersamaan mereka sendiri di atas segalanya.

8. Convenience Store Woman karya Sayaka Murata

Keiko Furukura telah bekerja di toko serba ada yang sama selama delapan belas tahun, puas dan tidak terganggu oleh norma-norma sosial. Murata menyusun kritik surealis dan tajam tentang konformitas melalui mata Keiko.

 Sementara calon pasangan pria muncul sebentar dalam cerita, ia lebih berperan sebagai kritikus daripada karakter. Komitmen Keiko terhadap gaya hidup non-normatif membuatnya menjadi pahlawan feminis yang pendiam yang menantang ekspektasi hanya dengan menjadi dirinya sendiri.

9. My Brilliant Friend karya Elena Ferrante

Kisah Neapolitan karya Ferrante dimulai dengan persahabatan masa kecil yang intens antara Elena dan Lila di lingkungan kelas pekerja. Pria ada di pinggiran, sering kali menyebabkan kekacauan, tetapi tidak pernah memegang denyut nadi narasi.

Epik emosional adalah milik para perempuan—ambisi, kecemburuan, ketakutan, dan kesetiaan mereka. Ferrante menuliskan kehidupan batin mereka dengan kejelasan yang tak tertandingi, menciptakan dunia tempat hubungan perempuan lebih formatif dan langgeng daripada romansa atau persaingan dengan laki-laki.

10. Tears of the Begums karya Khwaja Hasan Nizami

Buku ini ditulis oleh seorang penulis laki-laki tetapi sepenuhnya berpusat pada suara perempuan kerajaan Mughal, kisah sejarah ini menangkap kejatuhan Delhi yang tragis pada tahun 1857. Kekaisaran laki-laki runtuh, dan yang tersisa adalah kisah tentang bertahan hidup dan kesedihan, yang diceritakan oleh perempuan dengan keterusterangan yang mengejutkan.

Para begum ini bukanlah saksi pasif—mereka menceritakan, mengingat, dan membangun kembali. Laki-laki, yang dulunya penguasa, kini lenyap, sementara perempuan membentuk ingatan kolektif tentang kehilangan dan ketahanan.

Baca Juga: 10 Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Buku 'The Greatness Mindset karya Lewis Howes