Presiden terpilih Prabowo Subianto menargetkan kebijakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7 - 8%. Para ekonom menilai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% itu tidak mudah tanpa langkah konkret dalam industrialisasi.
Meskipun Prabowo mengusung visi untuk memacu pertumbuhan, ahli menyebutkan bahwa tanpa memperkuat sektor industri, upaya tersebut berpotensi mustahil.
Dalam hal ini disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini bahwasannya terdapat 7 langkah krusial yang harus dilakukan oleh pemerintahan Prabowo. Bahkan, menjadi satu hal yang baik bila pertumbuhan terjadi mencapai 6,5% - 7% secara bertahap.
Namun, jika hanya mendapat 5% atau kurang dari persentase yang ditargetkan, Indonesia akan tetap menjadi middle income di bagian bawah.
Baca Juga: Arahan Prabowo Jelang Pelantikan: Jika Saya Berada di Jalan yang Tidak Benar, Tinggalkan Saya
“Jika 5% ke bawah dan Indonesia akan tetap menjadi middle income, dan ini harus dijalan kan oleh tim yang super da, tidak politicking atau techno politician yang bukan politisi tapi teknokratis. Bukan politisi memble yang tidak punya wawasan, tidak punya visi,” ungkap Didik dalam diskusi bertajuk “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo: Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industrialisasi”, yang diselenggarkan pada Minggu (22/09/2024).
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, mereka menilai bahwa pemerintahan Prabowo perlu mengambil beberapa langkah penting. Berikut adalah tujuh langkah yang telah dibahas para ekonom melalui diskusi publik yang diselenggarakan langsung oleh Universitas Paramadina dan bekerja sama dengan INDEF, yaitu:
1. Stabilitas Makro
Langkah pertama adalah stabilitas makro, hal ini meliputi fiskal yang sekarang, dengan hutang yang berlimpah, maka harus dicari cara dengan income taxation ditingkatkan.
Artinya, jika Indonesia mencicil dan menghabiskan 50% dari income, bila dinaikkan dua kali lipat pendapatan, maka cicilan yang 50% tinggal 25%. Jadi adanya ketergantungan pada utang menghilang.
Baca Juga: Mengulik Target Ambisius Prabowo Bawa Ekonomi Indonesia Tumbuh 8%, Mungkinkah?
2. Trade Policy Reforms
Trade Policy Reform ini pada zaman Soeharto, duta besar memberitahuu tugas berupa market access. Bila ingin adanya ekspor yang ditingkatkan maka duta besar akan menilai tinggi, kemudian sekiranya tarif itu dinegoisasikan dengan pihak luar seperti tekstil Indonesia ke Eropa dibandingkan dengan Vietnam ke Amerika dan lain-lain. Maka Indonesia mempunyai pajak dua kali lipat dibandingkan Vietnam karena strategi bersama.
3. Export Incentives
Dengan suku bunga yang tinggi sekarang akan sulit untuk mendapatkannya. Maka dengan adanya export incentives sudah seharusnya dilakukan.
4. Sector Identification
Sector Identification ini merupakan hal yang harusdilakukan untuk menuju industrialisasi. Di INDEF yang mengidentifikasi kelapa sawit turunnya bisa puluhan. Bahkan, di Amerika atau Malaysia sudah melakukan hal. Sekarang Malaysiapun sudah lepas dari middle income trap dan sudah masuk ke jajaran ekonomi maju.
Baca Juga: Kementerian Prabowo-Gibran Bertambah, DPR Juga Mau Tambah Jumlah Komisi
5. Infrastruktur Investmen
Infrastruktur Investmen ini menjadi yang terefisien di waktu-waktu sekarang dan akan datang.
6. Technological Upgrading
Point ini harus ada karena dalam tekonologi jika kita tidak bisa lakukan maka harus impor dari luar dan masuk ke Indonesia seperti mobil. Bila dahulu Indonesia tidak mempunyai perakitan dan industri-industri separepart, namun sekarang, sudah puluhan bahkan ratusan sparepart dibuat di dalam negeri dan itu bisa menjadi keunggulan maupun skill yang diperoleh.
7. Workforce Skill Enhancement
Bila diteliti lebih lanjut, Bank Dunia sudah melakukan status studi. Hampir sudah ratusan negara terjebak di dalam midle income trap. Maka solusi dari middle income trap tersebut ialah dengan adanya influsi teknologi, skill development, dan sebagainya.
Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S. Damanhuri juga menambahkan bahwa industri manufaktur kian mengalami kemunduran luar biasa. Pada dasarnya di era reformasi pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai sekitar 5% dan pertumbuhan industri hanya di bawah 5% sekitar 4%.
Baca Juga: Prabowo-Gibran Jadikan UMKM sebagai Penggerak Ekonomi Nasional
Maka dari itu, dampaknya sangat merugikan terhadap great employment, maupun penciptaan kesempatan kerja sehingga yang terjadi sekarang terjadinya informalisasi kembali ekonomi Indonesia yang tetap antara 60 sampai 70% dari angkatan kerja sektor informal tersebut.
“Saya ingin menyampaikan bahwa situasi yang dihadapi oleh presiden Prabowo ke depan sangat berat memang, era reformasi yang ada industri revolusinya terutama 10 dan 5 tahun terakhir di era Jokowi itu sangat tidak kondusif terhadap adanya industrialisasi,” kata Didin.
Memang sudah seharusnya diperlukan stabilitas ekonomi makro pada iklim investasi dan iklim sektor keuangan. Karena dengan hal tersebut untuk menopang pertumbuhan sektor riil dan terjadinya industrialisasi dalam pembangunan infrastruktur yang diperlukan.